Rabu, 17 April 2013
المفعول به
المفعول به :
1-
المفعول
به اسم منصوب يدلّ على من وقع عليه فعل الفاعل ولا تتغيّر معه صورة الفعل.
مثل : * يطلب العاقلُ العلمَ ( العلمَ : مفعول به
منصوب بالفتحة ).
* تكرّم الدولة ُ
المتفقِين ( المتفقين : مفعول به منصوب بالياء لأنّه جمع مذكّر السالم ).
* و أحلَّ اللهُ البيعَ وحرَّمَ الرّبا ( البيعَ : مفعول به منصوب
بالفتحة ),
( الربا : مفعول به منصوب بفتحة مقدّرة ).
2-
قد يتعدد
المفعول به إذا كان الفعل من الأفعال لتي تنصب أكثرمن مفعول.
وهذه الأفعال هي :
( ا ) أفعال تنصب مفعولين
أصلها مبتداء وخبر و هي,
-
أفعال الظنّ : ظنَّ–خَال –حَسِبَ–زَعم–جَعَل – هب .
-
أفعال
اليقين : رأى–علِم–وجد– ألقى – تعلّم
(بمعنى اعلم ).
-
أفعال
التحويل : صير – حوّل – جَعَلَ – ردَّ – اتخذ – تَخِذ.
مثل : *ظننتُ الرجلَ نائماً ( الرجلَ : مفعول به
أول منصوب بالفتحة ),
( النائماَ : مفعول به ثانٍ منصوبالفتحة )
*
خلتُ محمَّداً أخَاكَ ( محمّداً : مفعول به أول منصوب بالفتحة )
( أخَاكَ : مفعول به ثان منصوب بالألف لأنّه من الأسماء الخمسة ).
*
وجد السَا ئرُ الطريقَ وعراً ( الطريقَ : مفعول به أول منصوب بالفتحة )
(
وعرًا : مفعول به ثان منصوب بالفتحة ).
*تعلَمْ الحياةَ جهادًا ( الحياةَ : مفعول به أول منصوب بالفتحة )
( جهادًا : مفعول به ثان منصوب بالفتحة )
*واتخذ اللهُ ابراهيمَ خليلاً
( ابراهيمَ : مفعول به أول منصوب بالفتحة )
( خليلاً : مفعول به ثان منصوب بالفتحة )
( ب ) أفعال تنصب
مفعولين ليس أصلها المبتداء والخبر , ومن هذه الأفعال :
كسَا –
ألبسَ – أعطى – منح – سأل – منع .
مثل : ألبَسَ
الربيعُ الأرضَ حلَّةً زاهيةً ( الأرض : مفعول به أول منصوب بالفتحة )
( حلةً : مفعول به ثان منصوب
بالفتحة )
(
زاهيةً : نعت للمفعول به الثانى منصوب بالفتحة )
3- يكون مفعول به :
( ا ) إما اسماً معرباً كما في الأمثلة السابقة .
(ب) أو
اسماً مبنياً (ضميرًا متصلًا أو منفصلًا,
اسم إشارة, اسمًا موصولًا الخ .... )
مثل : رأيتكَ ( الكاف : ضمير متصل مبنى في محل نصب مفعول به
)
إيّاك نعبد ( إيّاك : ضميرمنفصل
مبنى في محل نصب مفعول به )
يثجع
الجمهورُ هذا اللاعبَ (هذا : اسم إشارة مبنى في محل نصب مفعول به )
(ج)
مصدرًا مؤولًا من " أن والفعل " أو من " أنَّ و اسمها
وخبرها"
مثل : أكَّدَت الصحفُ أنَّ الأَمنَ مستتبٌ
( المصدر المؤول من أنَّ وإسمها وخبرها : مفعول به )
4- يجوزأن يتقدّم المفعول به على فاعله :
مثل :
يجنى القطن الفلاحُ ( القطنَ : مفعول به مقدم منصوب بالفتحة )
فريقًا
كذبتم وفريقًا تقتلون ( فريقًا : مفعول به مقدم منصوب بالفتحة )
** ويجب
تقديم المفعول به على فاعله إذا كان ضميرًا منفصلًا **
مثل :
إيّاك نعبد وإيّاك نستعين .
5- يجوز أن يخذف الفعل ويبقى المفعول به إذا فهم الكلام .
كأنَّ
يسأل : من قابلتَ فتقول عليًّا (والتقدير قابلتُ عليًّا ).
كذلك
هناك بعض عبارات شائعة الإستعمال حذف منها الفعل و بقى المفعول به
مثل : أهلًا و مرحبًا . ومعنها أتيت أهلًا و
أتيت سعةً .
6- الأصل أن يقع المفعول به بعد فعل و فاعل . إلا أن المصدر أو اسم
الفاعل
قد يعملان عمل الفعل فينصب
كل منها مفعةلا به.
مثل : نزكًا
الإهمالَ ( الإهمال مفعول به للمصدر منصوب بالفتحة ).
أنا الشاكر فضلَك ( فضلَ : مفعول به لاسم
الفاعل منصوب بالفتحة ).
Kamis, 04 April 2013
Dosen Itu
Pagi itu. . .
kami sedang berada di sebuah kelas yang ruangannya dipenuhi dengan sejumlah sekitar 40 mahasiswa. Sehingga membuat ruangan itu sedikit pengap. Namun, tetap saja. kelas tetap berjalan. Seperti biasa, sebelum pelajaran Dosen itu menanyai materi-materi sebelumnya kepada semua mahasiswanya satu persatu. Hampir semua angkatan 2010 itu dikenal oleh beliau, sampai hafal nama lengkapnya juga. Sungguh Dosen itu, membuat semua mahasiswa kelabakan, kegalauan, semua deh yang jelek2 pokoknya. Semua tugas yang dikumpulkan ke beliau harus PREFECT deh. Kalo nggak, sampai kiamat pun bakalan revisi terus. Bakalan jadi sampah. Presentasi pun harus serius 'n fokus. nggk boleh "guyonan". kalo ada yang kayak gituh, suruh ngulangi.
kami sedang berada di sebuah kelas yang ruangannya dipenuhi dengan sejumlah sekitar 40 mahasiswa. Sehingga membuat ruangan itu sedikit pengap. Namun, tetap saja. kelas tetap berjalan. Seperti biasa, sebelum pelajaran Dosen itu menanyai materi-materi sebelumnya kepada semua mahasiswanya satu persatu. Hampir semua angkatan 2010 itu dikenal oleh beliau, sampai hafal nama lengkapnya juga. Sungguh Dosen itu, membuat semua mahasiswa kelabakan, kegalauan, semua deh yang jelek2 pokoknya. Semua tugas yang dikumpulkan ke beliau harus PREFECT deh. Kalo nggak, sampai kiamat pun bakalan revisi terus. Bakalan jadi sampah. Presentasi pun harus serius 'n fokus. nggk boleh "guyonan". kalo ada yang kayak gituh, suruh ngulangi.
Pernah suatu hari, ada seorang mahasiswa yang bilang ke beliau, niatya sih ngajak musyawarah mengenai tugasnya karena emang terlalu banyak pembahasannya untuk presentasi. Tapi apa beliau bilang, "iya nggk apa dikurangi pembahasannya, tapi ntar kalian dapet nilai D. Hemmmmhhhhh.
Dan ini cerita selanjutnya, awalnya sihh perkuliahan itu lancar, tapi kemudian saat kelas akan berakhir. Ehh tiba2 berubah kayak neraka.
Dosen itu menjelaskan dengan ketusnya bahwa minggu depan kalian UTS, yaitu menganalisis sebuah teks or nanti kalian mendengarkan sebuah video ntar ambil sebuah penggalan kata dalam percakapan di video itu.
Dan ini cerita selanjutnya, awalnya sihh perkuliahan itu lancar, tapi kemudian saat kelas akan berakhir. Ehh tiba2 berubah kayak neraka.
Dosen itu menjelaskan dengan ketusnya bahwa minggu depan kalian UTS, yaitu menganalisis sebuah teks or nanti kalian mendengarkan sebuah video ntar ambil sebuah penggalan kata dalam percakapan di video itu.
Beberapa saat kemudian, seorang mahasiswa masuk kelas dengan membawa fotocopian, yaitu bagan dari ringkasan materi untuk bahan belajar UTS. Bagan itu dibuat sendiri oleh beliau. Hanya saja kalo niatnya baik tentunya nggak setengah-setengah, sekalian aja. Ini malah ringkasan secara umum, yang mana kita harus mencari istilah-istilah dalam ringkasan itu sendiri. Istilah-istilahnya susah juga. Tapi, ya syukurlah daripada nggk ada ringkasannya sama sekali. Toh dengan ringkasan itu memudahkan kita belajar. Jadi tau sampai materi apa yang dipelajari.
Namun, masalahnya nggk ini aj. Kebiasaan beliau adalah "suka nyindir" mahasiswa-mahasiswinya. Beliau itu secara nggk langsung bilang kalo "Mahasiswanya itu NGGAK CERDAS". Inilah yang membuat saya bergu- mam dan nggak habis pikir, kog masih ada ya Dosen kayak beliau ini. Semoga para pembaca nggak men- contoh hal-hal yang saya ceritakan diatas. Dan dari beliau ini, saya belajar agar tidak sewenang-wenang dengan anak didik saya nantinya untuk tidak mengatakan hal-hal yang membuatnya minder dan tentunya marah ma saya. Toh, masih banyak cara untuk menyemangati atau memotivasi siswa. Sebenarnya kita, manusia ini semuanya sama. Yang membuat saya dan Dosen itu berbeda karena duluan beliau sekolahnya dari pada saya. Hehehehehehehhhhhhhhh
sekian,
ini adalah cerita nyata yang saya persembahkan buat pembaca. .
salam manis
sekian,
ini adalah cerita nyata yang saya persembahkan buat pembaca. .
salam manis
Linda ^_^
Sabtu, 30 Maret 2013
Makalah Anakon Mikrolinguistik
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Bahasa itu terdiri atas unsur-unsur yang tersusun secara teratur. Bahasa
itu bukanlah sejumlah unsur yang terkumpul secara acak atau tidak beraturan.
Bahasa itu sistematis (J.W.M. Verhaar.1996: 106) .Di samping itu, dapat pula dinyatakan bahwa bahasa
terdiri dari subsistem-subsistem, artinya bahasa bukanlah sistem tunggal.
Bahasa terdiri dari beberapa subsistem, yaitu subsistem fonologi, subsistem
gramatikal, dan subsistem leksikal. Agak berbeda dengan subsistem yang lain,
subsistem bahasa tertata secara hirearkis. Jenjang subsistem ini dalam
linguistik dikenal dengan nama tataran linguistik atau tataran bahasa. Jika
diurutkan dari tataran yanng terendah sampai tataran yang tertinggi, dalam hal
ini yang menyangkut ketiga subsistem bahasa di atas adalah tataran fonem,
morfem, frase, klausa, kalimat, dan wacana. Tataran fonem masuk dalam bidang
kajian fonologi, tataran morfem dan kata masuk dalam tataran kajian morfologi;
tataran frasa, klausa, kalimat, dan wacana merupakan tataran tertinggi, dikaji
oleh bidang sintaksis (Abdul Chaer.1994: 97). Dalam morfologi, kata menjadi satuan
terbesar, sedangkan dalam sintaksis menjadi satuan terkecil. Dalam kajian
morfologi, kata itu dikaji struktur dan proses pembentukannya, sedangkan dalam
sintaksis dikaji sebagai unsur pembentuk satuan sintaksis yang lebih besar.
Linguistik dari segi telaahnya dapat dibagi atas dua jenis, yaitu
linguistik mikro dan linguistik makro. Linguistik mikro dipahami sebagai
linguistik yang sifat telaahnya lebih sempit. Artinya, bersifat internal, hanya
melihat bahasa sebagai bahasa. Linguistik makro bersifat luas, sifat telaahnya
ekternal. Linguistik mengkaji kegiatan bahasa pada bidang-bidang lain, misalnya
ekonomi dan sejarah. Bahasa digunakan sebagai alat untuk melihat bahasa dari
sudut pandangan dari luar bahasa.
Bahasa dapat dilihat secara deskriptif, historis komparatif, kontrastif,
sinkronis, dan diakronis. Linguistik deskriptif melihat bahasa yang masih hidup
apa adanya. Linguistik komparatif membandingkan dua bahasa atau lebih pada
periode berbeda. Linguistik kontrastif membandingkan bahasa-bahasa pada periode
tertentu atau sezaman. Dalam kajian ini dicari persamaan dan perbedaan dalam
bidang struktur: fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Linguistik sinkronis
mempersoalkan bahasa pada massa tertentu. Dalam kajian ini kita tidak
membandingkan dengan bahasa lain dan periode lain. Dengan demikian, kajian
linguistik ini bersifat mendatar atau horizontal.
Linguistik dapat pula berhubungan dengan ilmu lain. Ilmu tersebut antara
lain adalah psikologi, sosiologi, dan antropologi. Ahli bahasa dapat
memanfaatkan psikologi untuk menganalisis perolehan bahasa dan akibat gangguan
psikologi. Perhubungan ini melahirkan psikolinguistik. Hubungan dengan
sosiologi melahirkan sosiolinguistik. Subdisiplin ini dikaji hubungan bahasa
dengan pembicara, bahasa apa atau variasi bahasa, apa yang dibicarakan, kepada
siapa, dan kapan terjadi pembicaraan. Dengan kata lain, sosiolinguistik
menganalisis hubungan antara aspek sosial dengan kegiatan berbahasa.
Pemanfaatan antropologi menghasilkan anropolinguistik atau etnolinguistik.
Subdisiplin ini mempelajari hubungan antara bahasa, penggunaan bahasa, dan
kebudayaan pada umumnya.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dalam makalah ini akan
diuraikan apa yang disebut dengan linguistik mikro secara umum.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang tersebut di atas dapat dirumuskan beberapa pertanyaan sebagai
berikut:
1.
Apa
yang dimaksud dengan Mikrolinguistk ?
2.
Apa
saja Prinsip-prinsip Umum ?
3.
Apa
yang dimaksud Anakon Gramatikal ?
4.
Apa
yang dimaksud Anakon Fonologikal ?
5.
Apa
yang dimaksud Leksikologi Kontrastif ?
C.
Tujuan
Berdasarkan
rumusan masalah tersebut di atas dapat dirumuskan beberapa tujuan pembahasan
sebagai berikut:
1.
Untuk
mengetahui dan memahami tentang Mikrolinguistk.
2.
Dapat
menyebutkan dan mengetahui Prinsip-prinsip Umum.
3.
Untuk
mengetahui dan memahami Anakon Gramatikal.
4.
Untuk
mengetahui dan memahami Anakon Fonologikal.
5.
Untuk
mengetahui dan memahami Leksikologi Kontrastif.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Mikrolinguistik
Mikrolinguistik
adalah suatu bidang linguistic yang mempelajari bahasa dari dalamnya, dengan
perkataan lain mempelajari struktur bahasa itu sendiri atau mempelajari bahan
bahasa secara langsung (Kridalaksana 1984 : 125 dalam Tarigan). Dalam pembahasan ini kita akan memusatkan perhatian pada praktek
tradisional mikrolinguistik atau analisis kontrastif yang “berorientasikan
sandi” pada tiga tingkatan yaitu fonologi, leksis, dan tata bahasa. Memang
Analisis kontrastif Mikrolinguistik merupakan ranah yang telah dijelajah dengan
baik, tetapi masih tetap tersifat kontroversial sampai kini. Oleh karena itu,
tidak usah kita heran akan adanya berbagai resiko dan kritikan.
Harus diakui
dengan jujur bahwa sampai kini penerbitan-penerbitan yang berkenaan dengan
Anakon masih relative sangat kurang, apalagi di tanah air kita ini,
terlebih-lebih yang bersifat global dan lengkap. Memang di Amerika Serikat
dapat kita temui jilid-jilid seri Chicago (yang disunting oleh Ferguson) yang
memperlihatkan judul-judul yang agaknya menuntut ke-global-an, tetapi dalam
kenyataannya tetap saja menghasilkan sketsa-sketsa dangkal bidang-bidang utama
tata bahasa yang hendak mereka deskripsikan. Bahkan publikasi-publikasi yang
berasal dari berbagai proyek Anakon Eropa pun tidak berupaya agar karya mereka
bersifat global, tetapi terdiri dari antologi-antologi berbagai telah yang
terpusat atau terarah pada bidang-bidang pilihan system-sistem gramatikal,
fonologis, dan leksikal dari pasangan-pasangan bahasa yang bersangkutan. Namun
harus diakui dengan jujur bahwa upaya-upaya dan karya-karya mereka itu tetap
bermanfaat bagi insan-insan yang menaruh minat pada bidang Anakon dan
pengajaran bahasa , paling sedikit sebagai pendorong serta perintis jalan.
Praktek yang
digunakan Anakon untuk melaksanakan pemerian-pemerian diferensial parsial
terhadap sistem-sistem dan struktur-struktur B1 dan B2 tertentu memang jelas
mengundang kritikan dari berbagai pihak. Para pakar Anakon, terutama sekali
yang berkecimpung dalam gerakan Audiolingual pedagogi bahasa asing berupaya
keras melaksanakan Anakon yang akan meladeni serta menjalankan prinsip-prinsip
pemilihan dan peningkatan yang dianjurkan oleh gerakan tersebut, mereka
mengkhususkan serta memilih bidang-bidang kontras B1 : B2 yang akan
memperkenalkan kendala-kendala atau penghalang-penghalang pembelajaran utama
pada tahap permulaan, tetapi yang akan menjadi kurang sukar kalau pengetahuan
pembelajaran mengenai B2 semakin meningkat. Untuk hal ini mereka justru
mendapat kritik, karena mereka telah melestarikan atau mengabadikan suatu
pandangan yang naïf mengenai pembelajaran B2. Lee (1968:192) misalnya memang
berkeberatan terhadap perlakuan Anakon yang terpecah-pecah itu dan memprotes
keras bahwa “bahasa bukanlah merupakan kumpulan dari bagian-bagian yang
terpisah-pisah serta dapat mandiri dan berswasembada. Bagian-bagian itu
berkaitan satu sama lain bahkan saling menentukan”.
Agar kita
memperoleh gambaran yang lebih menyeluruh dan lebih terperinci mengenai Anakon
Mikrolinguistik ini maka pada pembicaraan selanjutnya secara berurutan kita
akan pusatkan perhatian kita pada butir-butir berikut ini :
a.
Prinsip-prinsip umum
b.
Anakon gramatikal
c.
Anakon fonologikal
d.
Leksikologi kontrastif
B.
Prinsip- prinsip Umum
Agar pembahasan kita selanjutnya lebih terarah dan lebih efisien, maka
sebelum kita mengemukakan beberapa saran bagi pelaksanaan Anakon pada berbagai
tingkat bahasa, ada baiknya kalau terlebih dahulu kita membicarakan
beberapa “prinsip umum” prosedur-prosedur yang akan di tempuh. Pada dasarnya
pelaksanaan suatu Anakon mencakup dua langkah, yaitu :
a.
Pemerian, deskripsi
b.
Perbandingan, komparasi
Kedua langkah
ini dilaksanakan secara berurutan. Akan tetapi, kita tidak dapat mengatakan
bahwa kedua prosedur tersebut memberi ciri
secara unik pada Anakon.
Dalam
pernyataan Fries (1945:259) yang dengan tegas mengutarakan bahwa “materi-materi
yang paling efektif bagi pengajaran B2 adalah yang didasarkan pada pemerian
ilmiah bahasa yang akan dipelajari, yang dengan cermat dibandingkan secara
deskripsi yang parallel dengan bahasa ibu sang pembelajar”. Perhatikanlah
baik-baik bahwa Anakon itu terdiri dari :
1.
Deskripsi-deskripsi B1 dan B2 dan
2.
Perbandingan antara keduanya.
Dan jelas bahwa
kedua deskripsi itu perlu “sejajar” atau “parallel” .
Tuntutan
minimal “deskripsi yang parallel” atau “pemerian yang sejajar ” ialah bahwa
kedua bahasa itu diperikan dengan model deskripsi yang sama, atau seperti kata
pakar Jerman Schwarze (1972 : 20) : “im Rahmen der gleichen Theorie und unit
denselben Notations-konventionen”. Dalam pembicaraan terdahulu telah kita
bicarakan model-model sintaksis alternatif. Dengan demikian maka kita pun perlu
segera menemukan serta menentukan model-model alternatif bagi pemerian
fonologi. Dan kita pun dapat pula bertanya, haruskah kedua deskripsi itu di
kerjakan dengan model yang sama? Pertanyaan ini kita ajukan dengan beberapa
alasan: pertama-tama, model-model yang berbeda dapat mendeskripsikan ciri-ciri
bahasa tertentu secara lebih berhasil daripada model-model lainnya. Mari kita
ingat kembali contoh-contoh terdahulu. Tata bahasa generative transformasional
secara efektif dapat memperhitungkan intuisi-intuisi para penutur asli bahwa
tipe-tipe konstruksi tertentu tetap berkaitan (misalnya, kalimat aktif dan
kalimat pasif).
Dan kini
terlihat bahwa kalau data yang “sama” dari B1 dan B2 dideskripsikan dengan dua
model yang berbeda, maka deskripsi-deskripsi itu mungkin menyoroti faset-faset
yang berbeda dari data tersebut. Apabila hal ini terjadi, maka komparasi atau
perbandingan berikutnya tidak akan begitu sukar lagi, dan yang lebih serius
lagi, sang penganalisis akan ragu-ragu mengenai status aneka kontras yang
ditemuinya: apakah semua itu merupakan kontras-kontras linguistic, kalau kita
menggambarkan perbedaan-perbedaan antara data B1 dan B2? Atau apakah semua itu
merupakan refleksi-refleksi dari penggunaan dua model yang berbeda? Justru karena
hal inilah maka Harris (1963:3) menandaskan bahwa pemerian-pemerian yang
sebanding dari dua bahasa hanya akan terjamin kalau metode-metode pemerian yang
identik digunakan bagi pemerian kedua-duanya: “selama setiap perbedaan antara
pemerian-pemerian tersebut tidak ada kaitannya dengan perbedaan-perbedaan dalam
metode yang digunakan oleh sang linguis, tetap pada perbedaan-perbedaan dalam
bagimana caranya data bahasa beresponsi pada metode penataan yang identik”.
Tipologi
linguistic menjelaskan kepada kita bahwa bahasa-bahasa manusia terbagi atas
beberapa tipe berdasarkan ciri-ciri gramatika, fonologi dan leksikonnya
masing-masing. Kalau beberapa model ternyata lebih baik buat mendeskripsikan
cirri-ciri tertentu, maka hal ini berarti bahwa beberapa model akan
mendeskripsikan bahasa-bahasa tertentu lebih baik daripada yang lain-lainnya.
Sebagai missal, mungkin saja Tata bahasa Generatif Transformasional, yang
merupakan produkLinguis Amerika, mendeskripsikan Bahasa Inggris lebih baik,
daripada bahasa-bahasa lain. Agaknya tata bahasa generatif aplikatif suatu
model ciptaan linguis Rusia Shaumjan (1965) pun jauh lebih baik dan lebih
sesuai untuk mendeskripsikan bahasa Rusia yang mempunyai morfologi yang begitu
rumit daripada untuk mendeskripsikan bahasa inggris. Takkan pelak lagi,
distorsi atau penyimpangan pun akan terjadi kalau kita melaksanakan suatu
anakon bahasa Rusia dan bahasa Inggris dengan menggunakan suatu model yang
mendukung salah satu dan merugikan yang satu lagi, dengan perkataan lain,
deskripsi-deskripsi tersebut selain bersifat parallel juga tidak sama.
Dengan demikian
maka kita agaknya dihadapkan pada suatu dilemma: pada satu pihak, terdapat alas
an-alasan teoretis yang baik bagi penggunaan model yang sama untuk membuahkan
pemerian-pemerian B1 dan B2, pada pihak lain terdapat pula alas an-alasan
praktis yang sama kuatnya mengapa hal ini tidak di senangi. Agaknya ada dua
cara untuk menyelesaikan dilema tersebut.
1.
Pertama-tama, deskripsikanlah data B1 dan
data B2 secara terpisah, secara mandiri, menggunakan model-model yang
menghasilkan deskripsi-deskripsi setiap bahasa sebaik-baiknya, dan kemudian
terjemahkanlah kedua deskripsi tersebut kedalam suatu bentuk yang bermodel
netral.
2.
Cara yang kedua adalah melepaskan atau
menghilangkan tuntutan bahwa kedua deskripsi tersebut memerlukan kedalaman yang
sama, atau menggunakan istilah Halliday (1961:272) “delicate”. Sejumlah pakar
kontrastif memang telah menyarankan agar suatu Anakon seyogianya benar-benar
memperlihatkan suatu “descriptive imbalance” atau suatu “ketakseimbangan
deskriptif” demi keuntungan B2.
Sekarang kita
beralih pada langkah kedua yaitu “komparasi” atau perbandingan. Di sini pun
kita menemui sejumlah masalah teoretis, terutama yang ada di sekitar masalah
criteria buat komparasi atau yang biasa disebut sebagai “tertium comparationis”
itu, tetapi kita sekarang akan memusatkan perhatian pada masalah “bagaimana
membandingkan” dan bukan pada “dasar apa yang dibandingkan”. Memang tidak dapat
disangkal, bahwa ini merupakan suatu pendekatan yang agak arbitrer, selama
masalah “kebagaimanaan” dan “kemengapaan” tidak bisa terlepas satu sama lain.
Kita lebih cenderung membandingkan “tipe-tipe” daripada membandingkan
“tanda-tanda” dengan perkataan lain, mengacu kembali kepada contoh Catford
terdahulu, kita tidak membandingkan kedua kalimat tersebut sebagai
untaian-untaian bunyi atau substansi grafik, tetapi justru
struktur-strukturnya.
Setiap
struktur, secara ideal menggambarkan sejumlah kemungkinan realisasi yang tidak
terbatas, kalau struktur itu merupakan sebuah kalimat, maka dia merupakan dasar
bagi sejumlah ucapan, seperti yang dinyatakan oleh Lyons (1968:176). Dia
menjelaskan perbedaan itu dengan mengacu kepada pembedaan terkenal yang dibuat
oleh de Saussure antara “parole” dan “langue”. Ucapan merupakan bagian atau
rentangan parole yang dihasilkan oleh penutur asli dari kalimat-kalimat yang
diturunkan oleh sisitem unsur-unsur dan kaidah-kaidah yang membangun langue
itu.
C.
Anakon
Gramatikal
Abdul Chaer
(2007: 75), makna gramatikal adalah makna yang “muncul” sebagai hasil proses
gramatika, seperti afiksasi, reduplikasi, komposisi, akronimisasi, dan proses
konversi. Proses akronimisasi sebenarnya tidak memunculkan makna gramatikal
sebab proses itu hanya mengubah bentuk ungkapan yang panjang melalui abreviasi
menjadi sebuah kata yang “pendek”. Lalu, proses konversi juga tidak memunculkan
makna gramatikal sebab proses itu hanya mengubah kelas kata tanpa mengubah
fisik bentuk dasarnya. Misalnya, dari kata cangkul yang berkategori
nomina menjadi kata cangkul yang berkategori verba. Oleh karena itu,
dalam pembicaraan selanjutnya, kedua proses ini (akronimisasi dan konversi)
tidak akan dibicarakan karena tidak berkenaan dengan semantik.
Secara umum masalah
makna gramatikal berkenaan dengan makna yang terjadi pada proses afiksasi,
reduplikasi, dan proses komposisi atau proses penggabungan dasar dengan dasar.
Ketiga proses ini cukup sulit dan masalahnya juga cukup besar.
Dalam proses
afiksasi perlu dikemukakan adanya perbedaan pandangan mengenai makna dalam
proses itu. Para ahli tata bahasa tradisional (atau juga pada buku-buku tata
bahasa di sekolah) berpendapat bahwa setiap afiks mempunyai makna atau lebih
dari satu makna, sehingga sering dinyatakan, misalnya, arti awalan me-
adalah (1) ........; (2) ..........; (3) ........; dan seterusnya. Arti awalan ber-
adalah (1) ........; (2) ..........; (3) ........; dan seterusnya. Kridalaksana
(1989) yang bertumpu pada konsep de Saussure (1913) yang berpendapat bahwa
sebuah afiks bukan memiliki banyak makna melainkan hanya satu makna. Lalu,
sebagai solusinya dia mengatakan, misalnya ada 20 buah prefiks me- masing-masing
dengan maknanya sendiri-sendiri; jadi ada prefiks me-1, me-2,
me-3 dan seterusnya sebagai 20 yang berhomonim. Begitu juga ada 19
buah prefiks ber- dengan maknanya masing-masing. Jadi, ada prefiks ber-1,
ber-2, ber-3, dan seterusnya sebagai 19 buah bentuk yang
berhomonim. Dalam buku karangan Abdul Chaer (2007 : 76) , paham bahwa afiks
tidak mempunyai makna sendiri (otosemantis) sebagaimana halnya dengan
bentuk-bentuk dari dasar bebas. Afiks hanya mempunyai kemungkinan makna
gramatikal, dan makna gramatikal itu baru jelas kalau afiks itu sudah
diimbuhkan pada sebuah bentuk dasar. Makna gramatikalnya itu sangat tergantung
pada komponen makna yang dimiliki bentuk dasarnya. Contoh prefiks ber- akan
memiliki makna gramatikal ‘mengendarai’ atau ‘naik’ bila diimbuhkan pada bentuk
dasar yang memiliki komponen makna [+ kendaraan], misalnya bersepeda,
berkuda, dan lain-lain. Prefiks ber- akan bermakna ‘memakai’ apabila
diimbuhkan pada bentuk dasar yang memiliki komponen makna [+pakaian], seperti bersepatu,
berjilbab dan lain-lain. Contoh lain, prefiks ber- akan memiliki
makna gramatikal ‘melakukan’ apabila diimbuhkan pada bentuk dasar yang memiliki
komponen makna [+kegiatan], seperti berdiskusi, berolahraga, dan
berekreasi.
Dalam proses
reduplikasi selama ini ada kesan bahwa proses reduplikasi (proses pengulangan)
“hanya” melahirkan makna ‘plural’ makna ‘intensitas’, sehingga bentuk ulang
seperti kita-kita dan mereka-mereka adalah salah satu alasan
bentuk-bentuk dasar tersebut sudah menyatakan plural. Jadi, tidak perlu
direduplikasi lagi.
Kalau dasar
yang direduplikasi itu hanya dasar berkategori nomina, verba, dan ajektifa maka
makna gramatikal yang diperoleh memang bermakna plural atau intensitas. Padahal
dalam kenyataan bahasa yang direduplikasi dalam bahasa Indonesia juga kata yang
berkategori lain, seperti pronomina persona, adverbia, numeralia, dan
konjugasi. Dalam bahasa keseharian kita dapati bentuk-bentuk seperti, jangan-jangan,
bukan-bukan, kalau-kalau, tidak-tidak, dua-dua dan sebagainya. Oleh karena
itu, kiranya masalah makna reduplikasi ini perlu dikaji lagi dengan mengangkat
semua bentuk ulang yang ada sebagai objek kajiannya. Bukan hanya bentuk ulang
yang dasarnya berkategori nomina, verba dan ajektifa saja; tetapi juga yang
termasuk kategori konjungsi, numeralia, adverbia, dan lain-lain.
Proses komposisi
adalah proses penggabungan dasar dengan dasar. Namun, disini perlu dikemukakan
dulu adanya beberapa istilah lain yang bertumpang tindih dan sering dikacaukan
orang. Pertama, adalah istilah kata majemuk. Istilah ini biasanya
lebih dikaitkan pada masalah semantik. Apabila dua buah dasar digabungkan
menjadi satu kesatuan dan memiliki “makna baru” yang tidak teramalkan secara
leksikal maupun gramatikal, maka bentuk gabungan itu lazim ‘dipahami’ sebagai
sebuah kata majemuk. Misalnya, keras kepala yang berarti ‘bandel’, muka
tebal yang berarti ‘tidak bermalu’ dan panjang tangan yang berarti
‘pencuri’. Secara semantik bentuk seperti ini lazim juga dikenal dengan nama idiom
atau ungkapan. Dengan demikian, bentuk seperti keras kepala, muka
tebal, dan panjang tangan secara morfologi disebut kata majemuk. Kedua,
istilah gabungan kata atau kata gabung digunakan untuk
mewadahi penggabungan dasar dengan dasar, baik yang memiliki “makna baru”,
seperti panjang tangan di atas maupun yang bukan, seperti tangan kursi
dan badan jalan. Ketiga, istilah ini kelompok kata yang digunakan
oleh A. A. Fokker (1961). Istilah digunakan juga untuk mewadahi konsep seperti
pada gabungan kata. Hanya, untuk yang memiliki ”makna baru” diberi nama kelompok
kata terikat, dan yang tidak memiliki makna baru diberi nama kelompok
kata bebas. Keempat, istilah frase. Istilah frase sebenarnya bukan masuk
istilah morfologi, melainkan istilah dalam bidang sintaksis. Meskipun juga ada
berbagai pendapat tentang frase, tetapi pendapat umum yang mengatakan bahwa
frase adalah kelompok kata dalam klausa yang tidak melewati batas fungsi masih
bisa diterima. Dengan konsep ini sebuah frase bisa hanya terdiri dari dua buah
kata, tetapi bisa juga terdiri atas beberapa kata; apalagi kalau digunakan juga
konjungsi yang , tentu sebuah frase bisa menjadi sangat panjang.
Di sini yang
kita maksud dengan proses komposisi hanyalah proses penggabungan antara sebuah
dasar dengan sebuah dasar, dan hanya yang bermakna gramatikal, tidak termasuk
yang bermakna idiomatikal. Bila dilihat adanya kearbitran semantik pada bentuk
yang disebut idiom ini, maka sebenarnya makna-makna idiomatik itu juga termasuk
wilayah makna leksikal.
Proses
komposisi lazim dilakukan orang untuk mewadahi suatu konsep di alam nyata atau
yang ada di dalam abstrak yang belum ada wadahnya dalam bentuk sebuah kata.
Umpamanya dalam bahasa Indonesia sudah ada kata merah; tetapi ada warna
merah seperti pada darah, merah pada hati, merah pada jambu, dan merah pada
delima. Maka muncullah bentuk komposisi merah darah, merah hati, merah
jambu, dan merah delima. Begitu juga dalam bahasa Indonesia sudah
ada kata kaki. Lalu, hal-hal yang bentuk, letak dan fungsinya seperti kaki
disebut dengan kata kaki, seperti kaki meja, kaki bukit dan
catatan kaki.
D.
Anakon Fonologikal
Salah satu
pengetahuan yang diperlukan untuk memahami suatu bahasa adalah pengetahuan
tentang posisi dan fungsi suara dalam bahasa juga bagaimana suara itu dirangkai
bersama untuk membentuk beberapa unit makna. Oleh karena itu, pengetahuan tentang
bahasa arab tidak dianggap lengkap dengan hanya memahami subsistem
struktur bahasa (morfologi/ilm
al-sharf dan sintaksis/ilm
al-nahw), subsistem perbendaharaan bahasa (leksikon/al-mufradat),
subsistem makna dari tanda bahasa (semantik/ilm al-dilalah), subsistem
makna yang dipengaruhi oleh sesuatu di luar bahasa (pragmatik/al-brakmatiyah)
saja (Hidayattulah, 2009), tanpa mengetahui bunyi bahasa (Fonologi/ilm
al-ashwath).
Al-Suyuthi
(dalam Sauri, 2008) menyebutkan bahwa bahasa merupakan serangkaian suara (ashwath)
yang digunakan orang dalam mengungkapkan maksud yang dikehendaki. Definisi ini setidaknya melibatkan dua unsur dasar keterampilan,
bahasa sebagai tutur kata yang didengar (listened) dan yang diucap (spoken).
Fonologi adalah
ilmu yang mempelajari tentang sistem bunyi bahasa. Fonologi sendiri diambil
dari bahasa Yunani, fon = Voice/Sound berarti suara atau bunyi dan logo= Word/Speech adalah kata atau
ucapan. Jadi, yang dimaksud disini dengan fonologi adalah studi ilmu yang
membahas tentang suara dan bunyi-bunyi yang terucap dari alat ucap manusia.
Fonologi
termasuk dalam subkajian dalam ilmu
linguistik yang mempelajari tentang sistem bunyi suatu bahasa secara
spesifik yaitu fonetik dan fonemik.
A.
Fonetik
Fonetik adalah
bidang linguistik yang mempelajari bunyi bahasa tanpa memperhatikan apakah bunyi tersebut mempunyai
fungsi sebagai pembeda makna atau tidak. Menurut urutan jenisnya fonetik dibagi
menjadi tiga, yaitu:
a.
Fonetik
Artikulatoratis, disebut juga fonetik organis atau fisiologis yaitu mempelajari
bagaimana mekanisme alat-alat bicara manusia bekerja dalam menghasilkan bunyi
bahasa, serta bagaimana bunyi-bunyi itu diklarifikasikan.
b.
Fonetik
Akustik, yaitu mempelajari bunyi bahasa sebagai peristiwa fisik atau fenomena
alam, bunyi-bunyi itu diselidiki frekuensi getarannya, intensitasnya dan
timbrenya.
c.
Fonetik
Auditoris, yang mempelajari bagaimana mekanisme penerimaan bunyi bahasa itu
oleh telinga kita.
Perbedaan antara fonetik
artikulatoris, akustik, dan auditoris adalah pada segi objek studinya. Dari
ketiga jenis fonetik ini yang palimg dominan dalam dunia linguistic adalah fonetik artikulatoratis, sedangkan fonetik
auditoris lebih dengan bidang kedokteran, yaitu neurology, dan fonetik akustik lebih berkenaan dengan fisika. Alasan lebih pentingnya fonetik artikulatoris menurut beberapa ahli bahasa, semua dikarenakan fonetik inilah yang
berkenaan dengan masalah bagaimana buyi-bunyi bahasa itu dihasilkan atau
diucapakan manusia.
Fonetik adalah studi fonologi yang
mengkaji tentang bagaimana suara itu dihasilkan (produksi), persepsi suara, dan
sifat fisis bunyi itu. Selain itu, ilmu suara ini juga meliputi bagaimana
suara-suara itu dikombinasikan, diorganisir, dan menyampaikan maksud bahasa
tersebut. Tidak semua bentuk bunyi
bahasa yang ada di dunia ini dapat diartikulasikan oleh alat ucap manusia.
Contohnya saja, banyak bunyi dalam bahasa Inggris yang tidak bisa
diartikulasikan sebagaimana bunyi-bunyi yang terdapat dalam bahas Afrika. Begitu
pula dengan kombinasi, tak banyak pula yang dapat dibunyikan. Misalnya saja,
kombinasi kt sangat sulit sekali diucapkan diawal kalimat.
B.
Fonemik
Kajian fonologi
yang kedua adalah fonemik. Ilmu ini mempelajari tentang fonem, atau satuan
bunyi terkecil yang membedakan makna.
Fonem (phoneme) menurut Bloomfield (1933) adalah satuan ciri
bunyi distingtif terkecil. Dalam linguistik Arab, fonem disebut al-wahdah
as-sawtiyyah (Syahin 1984).
Bila fonetik
mengkaji bunyi bahasa berdasar aspek fisiknya saja, maka fonemik mengkaji bunyi
bahasa berdasar fungsinya sebagai pembeda makna dan terkait dengan bahasa
tertentu. Oleh karena itu, dalam fonetik dapat diketahui bunyi bahasa yang
artikulatorisnya besar dan bunyi bahasa
yang artikulatorisnya kecil. Dalam fonemik yang diperhatikan perbedaan yang
fungsional, yang berguna untuk membedakan makna. Perbedaan ini berbeda-beda
antara satu bahasa dengan bahasa yang lain.
Dalam tiap
bahasa, orang secara tidak sadar mengelompokkan berbagai bunyi yang
diucapkannya ke dalam satuan-satuan fungsional terkecil yang disebut fonem.
Pembahasan tentang fonem, penggolongan fonem, dan distribusi fonem di antara
pembahasan yang dipelajari dalam fonemik. Singkatnya, fonem adalah abstraksi
dari bunyi-bunyi bahasa. Meski berbeda antara fonem dan bunyi bahasa, fonem
diberi nama sesuai dengan nama salah satu bunyi bahasa yang merealisasikannya.
Lambang yang digunakannya pun sama dengan yang digunakan untuk melambangkan
bunyi bahaa. Bedanya, lambang fonem diletakkan di antara dua garis miring,
sedangkan lambang bunyi diletakkan dalam tanda kutung siku.
Bunyi-bunyi
yang merupakan realisasi suatu fonem disebut alofon. Fonem /i/ dalam bahasa
Arab, antara lain mempunyai alofon-alofon [i] (dalam rizâ), [i:] (dalam jâmi),
dan [I] (dalam jamîl). Alofon-alofon sebuah sebuah fonem dapat juga menunjukkan
ciri hubungan yang disebut bervariasi bebas. Alofon-alofon demikian dapat
dipertukarkan di tempat yang sama. Hal ini dapat terjadi terutama karena alat
ucap manusia pada dasarnya tidak mampu melafalkan
dua bunyi yang benar-benr sama berturut-turut. Ciri alofon-alofon sebuah fonem
adalah pertama, mempunyai kemiripan fonetis. Artinya, mempunyai banyak kesamaan dalam pengucapannya; kedua,
berdistribusi komplementer atau bervariasi bebas.
Untuk memperlihatkan
perbedaan fonemis antara yang satu
dengan yang lain dipakai cara memperbandingkan contoh-contoh ujaran dengan
perbedaan minimal dalam bunyi. Dua ujaran yang
berbeda maknanya dan berbeda minimal dalam bunyinya seperti itu disebut
pasangan minimal. Dalam bahasa Arab,
misalnya, kita bisa memperbandingkan antara kata jali:l
dan kata jami:l dapat diperlihatkan
bahwa kedua contoh itu hanya dibedakan oleh [l] dan [m]. Perbedaan ini
merupakan perbedaan yang penting bagi pemakai bahasa Arab karena perbedaan ini
bersifat fonemis. Kedua bunyi ini
merupakan realisasi dua fonem yang berbeda, yakni /l/ dan /m/.
Fonem dapat
dibagi menjadi jenis konsonan (consonant atau sāmit) dan vokal (vowel atau
harakah) (Robins 1989 dan Hijāzy 1978).
E. Leksikologi Kontrastif
Leksikologi,
dalam bahasa inggris dinamakan lexicology yang berarti ilmu/studi rnengenai
bentuk, sejarah dan arti kata-kata (John M. Echols dan Hasan Syadliy . 1996),
dalam bahasa arab, leksikologi disebut dengan ilmu Al-ma’ajim yaitu ilmu yang
mempelajari tenitang selak beluk kamus.
Menurut bahasa,
lexicology berasal dan kata lexicon yang berarti kamus, mu’jam atau istilah
dari sebuah ilmu(Research and Studies Centre. 2004 : hlm. 446) menurut istilah,
leksikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari seluk beluk makna/arti
kosakata yang telah termuat atau akan dimuat di dalam kamus. Al-Khuli
menerjemahkan istilah lexicology dengan sebutan ilm Al-Mufraclat (Ilmu
Kosakata), bukan Ilm Al-Ma ‘aji (Muhammad Ali Al-Khuli A.1982: hlm.154).
Menurutnya, pembahasan tentang kosakata dan maknanya telah termuat dalam ruang
lingkup ilmu kosa kata (Ilm Al-Mufradat).
Selain istilah
Leksikologi dan Ilm Al-Ma ‘ajim, ada juga beberapa istilah lain yang
digunakan untuk menyebut ilmu tentang kamus. Misalnya saja, Ilm al-Allfadz,
aI-Laffadzah, Ilm Dalalah Mu’j amiyah dan sebagainya (H.R. Taufiqurrochman.
2008: hlm.2), proses transfer dari
bahasa lisan ke bahasa tulis menuntut para penutur bahasa ngembangkan ilmu
tentang makna (semantik) untuk memahami kosakata lama maupun baru yang ada di
dalam bahasa mereka. Interpretasi dan studi kosakata itu lebih dikenal dengan
ilmu kosata (Ilm Al-Mufradat). Pada tahapan selanjutnya, hasil kajian dan
penelitian dari ilmu kosakata, terutama
yang telah maupun yang akan dikodifikasi ke dalam sebuah kamus, melahirkan ilmu
leksikologi (H.R. Taufiqurrochman. 2008: hlm. 3).
Menurut Hilmy
Khalil, Leksikologi adalah Ilm Al-Ma’ajim Al-Nadzari, yaitu kajian
teoritis tentang makna leksikal dalam sebuah kamus yang bahasannya meliputi:
karakteristik kosakata, komponennya, perkembangan maknanya dan lain sebagainya.
Karena itu, leksikologi terkadang juga digolongkan sebagai bagian dari ilmu
semantik (Ilm Al-Dalalah) karena memang topik kajian dan kedua bidang studi
tersebut hampir sama. Hanya saja, cakupan Ieksikologi lebih terbatas pada
perwajahan kamus dan hal-hal yang berhubungan dengan isi kandungan kamus (Hilmy
Khalil: hlm. 333)
Secara umum
masalah makna leksikal mencakup masalah kesamaan makna, kablikan makna,
ketercakupan makna dan keberlainan makna (Abdul chaer. 2007:hlm.68) :
a.
Kesamaan Makna atau kesinoniman
Misalnya menyangkut masalah seberapa
besar kesamaan makna yang terdapat antara dua buah kata atau lebih: sebab
seperti kita ketahui, tidak pernah ditemukan dua buah kata dalam bahasa
Indonesia yang kesamaan maknanya bersifat mutlak atau seratus persen misalnya
kata Ayah dan Bapak kesamaannya dianggap cukup. Tetapi toh masih
terdapat keperbedaannya, seperti ditunjukkan pada contoh-contoh kaliamat
berikut :
-
Si badu otang medan
-
Mau kemana, Tanya adik.
-
“selamat
pagi Mukti!” seru
anak-anak itu.
Perhatikan juga
fakta berikut : kata ban bias bersinonim dengan kata roda, kata ban
bias bersinonim dengan kata sabuk (ikat pinggang, gasper), juga kata ban
bersinonim dengan kata pita. Namun, ternyata kata roda tidak
bersinonim dengan kata sabuk maupun kata pita. Hal ini menunjukkan
memang ada unsure semantic (komponan makna) yang bias mensinonimkan kata ban
dengan kata roda, sabuk dan pita, tetapi tidak ada unsure
semantik yang bias mensinonimkan kata roda dengan kata sabuk dan
kata pita. Hal ini melahirkan juga masalah (yang bias dikaji) mengapa
dua buah kata yang bersinonim tidak bias saling disubtitusikan, seperti kata bapak
dan ayah diatas.
b.
Kebalikan Makna atau keantoniman
Misalnya menyangkut masalah mengapa
kata hidup dan kata mati
yang berantonim tidak bias dikatakan sangat hidup atau sangat
mati, tetapi pada kata jauh dan dekat. Juga mengapa kata tinggi
hanya berantonim dengan kata rendah, sedangkan kata berdiri bisa
berantonim dengan kata duduk, dengan kata berbaring, dengan kata tiarap
dan dengan kata berjongkok. Fakta ini menunkkan bahwa terdapat
tipe-tipe keantoniman didalam bahasa Indonesia. Hal ini merupakan masalah yang
cukup layak dan penting untuk dikaji secara serius dan mendalam.
c.
Ketercakupan Makna kehiponiman
Berkenaan dengan adanya fakta bahwa
ada kata-kata yang maknanya tercakup dibawah makna kata lain, seperti kata cakalang
yang tercakup dibawah makna kata ikan, dan kata bemo tercakup
pada makna kata kendaraan. Lalu disamping itu adanya fakta bahwa ada
kata-kata yang maknanya mencakup sejumlah kata lain, seperti kata bunga yang mankanya mencakup makna kata-kata melati,
seruni, mawar, cempaka, dan lain-lain., atau juga kata bangunan yang
maknanya mencakup sejumlah makna kata, rumah, jembatan, bendungan, menara dan
lain-lain. Kemudian ada lagi fakta adanya kata yang bukan maknanya mencakup
sejumlah makna kata lain, melainkan mencakup sejumlah kata yang meruapakan
bagian (komponen) dari kata tersebut. Umpamanya, kata rumah mencakup
didalamnya kata kamar, dapur, gudang, kamar mandi, dll. Disini kita
lihat kasus rumah dengan bagian-bagiannya ini tidak sama dengan kasus bunga dengan
melati,cempaka, dan sebagainya.
Ketiga kasus ini, hubungan melati
dengan bunga, hubungan bunga dengan melati dan
hubungan rumah dengan kamar merupakan objek yang menarik dan
layak dikaji secara serius dan mendalam.
d.
Keberlainan Makna
Keberlainan makna antara dua butir
leksikal berkenaan dengan adanya fakta bahwa ada kata-kata yang bentuknya sama,
yang maknanya sangat berlainan. Misalnya kata pacar dalam kalimat
“pulang dari Makkah biasanya jamaah haji membawa pacar” bermakna `inai, pemerah
kuku, sedangkan dalam kalimat “si Joni mengajak pacarnya menonton bioskop”,
bermakna `kekasih`. Contoh lain, kata baku dalam kalimat “baku tembak
terjadi antara polisi dan perampok” bermakna `saling tembak`, sedangkan dalam
kalimat “kapas adalah bahan baku tekstil” bermakna `bahan mentah`.
Adanya fakta-fakta seperti itu dapat
meninmbulkan pertanyaan bagaimana terjadinya bentuk-bentuk kata yang sama
padahal maknanya tidak sama. Pertanyaan ini perlu dijawab secara ilmiah dengan
mengajukan data-data empiris yang cukup.
Disamping itu ada pula fakta seperti
pada tiga kalimat berikut, “kepalanya luka kena pecahan kaca”. “ ibunya
menjadi kepala sekolah disana” dan kalimat “setiap kepala mendapat
bantuan seribu rupiah”. Kata kepala pada tiga kalimat itu tidak sama
maknya. Pada kalimat pertama bermakna `bagian tubuh sebelah atas`, pada kalimat
kedua bermakna `pemimpin` dan pada kaliamat ketiga bermakna `orang`. Makna pada
kasus kata kepala ini lazim disebut sebagai kasus polisemi, sedangkan
makna pada kasus kata pacar diatas lazim disebut sebagai kasus homonimi.
Nah, disini muncul pula masalah yang layak dijadikan objek penelitian, yaitu
bagaimana bisa menentukkan perbedaan antara kasus homonimi dan kasus polisemi.
Kasus ini memang layak dikaji, sebab
dalam kamus momonim bahasa Indonesia oleh Moh. Ngafenan (1985) kata bakul yang bermakna `wadah tempat nasi` dan kata bakul
yang bermakna `pedagang asongan` didaftar sebagai kasus homonimi, padahal
dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia Poerwadarminta (1976) didaftar sebagai kasus
polisemi.
|
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan dan rumusan masalah yang telah dijawab dalam makalah ini, maka bisa
ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
ü Mikrolingiustik adalah suatu bidang linguistic yang mempelajari
bahasa dari dalamnya, dengan perkataan lain mempelajari struktur bahasa itu
sendiri atau mempelajari bahan bahasa secara langsung (Kridalaksana 1984 :
125).
ü Prinsip-prinsip umum Anakon
1.
Pemerian, deskripsi
2.
Perbandingan, komparasi
ü Anakon Gramatikal
Abdul Chaer (2007: 75), makna
gramatikal adalah makna yang “muncul” sebagai hasil proses gramatika, seperti
afiksasi, reduplikasi, komposisi, akronimisasi, dan proses konversi.
ü Anakon Fonologikal
Fonologi adalah
ilmu yang mempelajari tentang sistem bunyi bahasa. Fonologi termasuk dalam
subkajian ilmu linguistik yang
mempelajari tentang sistem bunyi suatu bahasa secara spesifik yaitu fonetik dan
fonemik.
1.
Fonetik
Fonetik adalah
bidang linguistic yang mempelajari bunyi bahasa tanpa memperhatikan apakah bunyi tersebut mempunyai
fungsi sebagai pembeda makna atau tidak. Menurut urutan jenisnya fonetik dibagi menjadi tiga, yaitu:
a)
Fonetik
Artikulatoratis, disebut juga fonetik organis atau fisiologis yaitu mempelajari
bagaimana mekanisme alat-alat bicara manusia bekerja dalam menghasilkan bunyi
bahasa, serta bagaimana bunyi-bunyi itu diklarifikasikan.
b)
Fonetik
Akustik, yaitu mempelajari bunyi bahasa sebagai peristiwa fisik atau fenomena
alam, bunyi-bunyi itu diselidiki frekuensi getarannya, intensitasnya dan
timbrenya.
c)
Fonetik
Auditoris, yang mempelajari bagaimana mekanisme penerimaan bunyi bahasa itu
oleh telinga kita.
2.
Fonemik
Ilmu ini
mempelajari tentang fonem, atau satuan bunyi terkecil yang membedakan
makna. Fonem (phoneme) menurut
Bloomfield (1933) adalah satuan ciri bunyi distingtif terkecil. Dalam
linguistik Arab, fonem disebut al-wahdah as-sawtiyyah (Syahin
1984).
ü Leksikologi Kontrastif
Leksikologi,
dalam bahasa inggris dinamakan lexicology yang berarti ilmu/studi rnengenai
bentuk, sejarah dan arti kata-kata (John M. Echols dan Hasan Syadliy . 1996),
dalam bahasa arab, leksikologi disebut dengan ilmu Al-ma’ajim yaitu ilmu yang
mempelajari tenitang selak beluk kamus.
Secara umum
masalah makna leksikal mencakup masalah kesamaan makna, kebalikan makna,
ketercakupan makna dan keberlainan makna (Abdul chaer. 2007:hlm.68) :
a)
Kesamaan makna atau kesinoniman
b)
Kebalikan makna/ keantoniman
c)
Ketercakupan makna kehiponiman
d)
Keberlainan makna
B.
Saran
Berdasarkan
pembahasan yang telah dipaparkan dalam makalah ini maka penyusun menyarankan
untuk para pendidik atau guru bahasa, agar lebih memperhatikan tentang objek kajian Analisis kontrastif
mikrolinguistik, karena bagaimanapun juga ia termasuk salah satu bidang dari
ilmu linguistik yang mana mempelajari bahasa dari dalamnya (struktur internal
bahasa).
Semoga
penyajian makalah ini dapat menjadi sebuah salah satu referensi
yang rasional dan objektif dalam memahami mata kuliah “anakon dan anakes”. Serta mampu kita manfaatkan dalam pembelajaran yang lain.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Khuli,
Muhammad Ali. 1982. Dictionary of
Theoretical Linguistics. Lebanon: Maktabah Lubnan.
Chaer, Abdul.
2007. Kajian Bahasa: Struktur Internal, Pemakaian, dan Pemelajaran. Jakarta:
Rineka Cipta.
Chaer,
Abdul.1994. Linguistik Umum. Jakarta : Penerbit Rineka Cipta.
Echols, John
M. dan Hasan Syadliy. 1996. Kamus Inggris
Indonesia. Jakarta: PT
Gramedia.
Fries; C. C.
1945. Teaching and Learning English as a Foreign Language. Michigan:
University of Michigan Press.
Halliday; M. A.
K. 1961. “Categories of the theory of grammar”, dalam Word. Vol. 17. No. 3, pp.
241-292.
Harris; Z. S.
1954. “Transfer Grammar”, dalam IJAL. Vol. 20, No. 4, pp 259-270.
Khalil, Hilmy. Muqaddimah li Dirasah Al-Lugah. Iskandariyah:
Dar Al-Ma’riah Al-Jami’iyyah.
Kridalaksana,
Harimurti. 1989. Pembentukan Kata Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Lee; W. R.
1968. “Thoughts on contrastive linguistics in the context of language
teaching”; dalam MSLL, No. 21. Georgetown University Press.
Lyons; J. 1968.
Introduction to Theoretical Linguistics. Cambridge: Cambridge University
Press.
Research and
Studies Centre. 2004. The Dictionary English-Arabic. Lebanon: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah.
Schwarze, C.
1972. “Grammatiktheorie and Sprachvergleich” dalam Ling. Berichte, vol. 21, pp.
15-30.
Shaumjan; S. K.
1965. Strukturnaja Linguistika Moskow: I. Nauka.
Soeparno. 2002. Dasar-Dasar
Linguistik Umum. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Tarigan, Henry Guntur. 1992. Pengajaran
Analisis Kontrastif Bahasa. Bandung: Angkasa.
Taufiqurrochman,
H.R. 2008. Leksikologi Bahasa Arab. Yogyakarta: SUKSES Ofsset.
Verhaar, J.W.M. 1996. Asas-asas
Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
www.fonologidalampendidikandanpelatihan.pdf.
Oleh M. Tontowi diakses pada tanggal 04/03/2013 jam 09.00 WIB
Langganan:
Postingan (Atom)