Sabtu, 30 Maret 2013

Makalah Anakon Mikrolinguistik


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Bahasa itu terdiri atas unsur-unsur yang tersusun secara teratur. Bahasa itu bukanlah sejumlah unsur yang terkumpul secara acak atau tidak beraturan. Bahasa itu sistematis (J.W.M. Verhaar.1996: 106) .Di samping itu, dapat pula dinyatakan bahwa bahasa terdiri dari subsistem-subsistem, artinya bahasa bukanlah sistem tunggal. Bahasa terdiri dari beberapa subsistem, yaitu subsistem fonologi, subsistem gramatikal, dan subsistem leksikal. Agak berbeda dengan subsistem yang lain, subsistem bahasa tertata secara hirearkis. Jenjang subsistem ini dalam linguistik dikenal dengan nama tataran linguistik atau tataran bahasa. Jika diurutkan dari tataran yanng terendah sampai tataran yang tertinggi, dalam hal ini yang menyangkut ketiga subsistem bahasa di atas adalah tataran fonem, morfem, frase, klausa, kalimat, dan wacana. Tataran fonem masuk dalam bidang kajian fonologi, tataran morfem dan kata masuk dalam tataran kajian morfologi; tataran frasa, klausa, kalimat, dan wacana merupakan tataran tertinggi, dikaji oleh bidang sintaksis (Abdul Chaer.1994: 97). Dalam morfologi, kata menjadi satuan terbesar, sedangkan dalam sintaksis menjadi satuan terkecil. Dalam kajian morfologi, kata itu dikaji struktur dan proses pembentukannya, sedangkan dalam sintaksis dikaji sebagai unsur pembentuk satuan sintaksis yang lebih besar.
Linguistik dari segi telaahnya dapat dibagi atas dua jenis, yaitu linguistik mikro dan linguistik makro. Linguistik mikro dipahami sebagai linguistik yang sifat telaahnya lebih sempit. Artinya, bersifat internal, hanya melihat bahasa sebagai bahasa. Linguistik makro bersifat luas, sifat telaahnya ekternal. Linguistik mengkaji kegiatan bahasa pada bidang-bidang lain, misalnya ekonomi dan sejarah. Bahasa digunakan sebagai alat untuk melihat bahasa dari sudut pandangan dari luar bahasa.
Bahasa dapat dilihat secara deskriptif, historis komparatif, kontrastif, sinkronis, dan diakronis. Linguistik deskriptif melihat bahasa yang masih hidup apa adanya. Linguistik komparatif membandingkan dua bahasa atau lebih pada periode berbeda. Linguistik kontrastif membandingkan bahasa-bahasa pada periode tertentu atau sezaman. Dalam kajian ini dicari persamaan dan perbedaan dalam bidang struktur: fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Linguistik sinkronis mempersoalkan bahasa pada massa tertentu. Dalam kajian ini kita tidak membandingkan dengan bahasa lain dan periode lain. Dengan demikian, kajian linguistik ini bersifat mendatar atau horizontal.
Linguistik dapat pula berhubungan dengan ilmu lain. Ilmu tersebut antara lain adalah psikologi, sosiologi, dan antropologi. Ahli bahasa dapat memanfaatkan psikologi untuk menganalisis perolehan bahasa dan akibat gangguan psikologi. Perhubungan ini melahirkan psikolinguistik. Hubungan dengan sosiologi melahirkan sosiolinguistik. Subdisiplin ini dikaji hubungan bahasa dengan pembicara, bahasa apa atau variasi bahasa, apa yang dibicarakan, kepada siapa, dan kapan terjadi pembicaraan. Dengan kata lain, sosiolinguistik menganalisis hubungan antara aspek sosial dengan kegiatan berbahasa. Pemanfaatan antropologi menghasilkan anropolinguistik atau etnolinguistik. Subdisiplin ini mempelajari hubungan antara bahasa, penggunaan bahasa, dan kebudayaan pada umumnya.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dalam makalah ini akan diuraikan apa yang disebut dengan linguistik mikro secara umum.
B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas dapat dirumuskan beberapa pertanyaan sebagai berikut:
1.              Apa yang dimaksud dengan Mikrolinguistk ?
2.              Apa saja Prinsip-prinsip Umum ?
3.              Apa yang dimaksud Anakon Gramatikal ?
4.              Apa yang dimaksud Anakon Fonologikal ?
5.              Apa yang dimaksud Leksikologi Kontrastif ?
C.      Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas dapat dirumuskan beberapa tujuan pembahasan sebagai berikut:
1.              Untuk mengetahui dan memahami tentang Mikrolinguistk.
2.              Dapat menyebutkan dan mengetahui Prinsip-prinsip Umum.
3.              Untuk mengetahui dan memahami Anakon Gramatikal.
4.              Untuk mengetahui dan memahami Anakon Fonologikal.
5.              Untuk mengetahui dan memahami Leksikologi Kontrastif.




















BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Mikrolinguistik
Mikrolinguistik adalah suatu bidang linguistic yang mempelajari bahasa dari dalamnya, dengan perkataan lain mempelajari struktur bahasa itu sendiri atau mempelajari bahan bahasa secara langsung (Kridalaksana 1984 : 125 dalam Tarigan). Dalam pembahasan ini kita akan memusatkan perhatian pada praktek tradisional mikrolinguistik atau analisis kontrastif yang “berorientasikan sandi” pada tiga tingkatan yaitu fonologi, leksis, dan tata bahasa. Memang Analisis kontrastif Mikrolinguistik merupakan ranah yang telah dijelajah dengan baik, tetapi masih tetap tersifat kontroversial sampai kini. Oleh karena itu, tidak usah kita heran akan adanya berbagai resiko dan kritikan.
Harus diakui dengan jujur bahwa sampai kini penerbitan-penerbitan yang berkenaan dengan Anakon masih relative sangat kurang, apalagi di tanah air kita ini, terlebih-lebih yang bersifat global dan lengkap. Memang di Amerika Serikat dapat kita temui jilid-jilid seri Chicago (yang disunting oleh Ferguson) yang memperlihatkan judul-judul yang agaknya menuntut ke-global-an, tetapi dalam kenyataannya tetap saja menghasilkan sketsa-sketsa dangkal bidang-bidang utama tata bahasa yang hendak mereka deskripsikan. Bahkan publikasi-publikasi yang berasal dari berbagai proyek Anakon Eropa pun tidak berupaya agar karya mereka bersifat global, tetapi terdiri dari antologi-antologi berbagai telah yang terpusat atau terarah pada bidang-bidang pilihan system-sistem gramatikal, fonologis, dan leksikal dari pasangan-pasangan bahasa yang bersangkutan. Namun harus diakui dengan jujur bahwa upaya-upaya dan karya-karya mereka itu tetap bermanfaat bagi insan-insan yang menaruh minat pada bidang Anakon dan pengajaran bahasa , paling sedikit sebagai pendorong serta perintis jalan.
Praktek yang digunakan Anakon untuk melaksanakan pemerian-pemerian diferensial parsial terhadap sistem-sistem dan struktur-struktur B1 dan B2 tertentu memang jelas mengundang kritikan dari berbagai pihak. Para pakar Anakon, terutama sekali yang berkecimpung dalam gerakan Audiolingual pedagogi bahasa asing berupaya keras melaksanakan Anakon yang akan meladeni serta menjalankan prinsip-prinsip pemilihan dan peningkatan yang dianjurkan oleh gerakan tersebut, mereka mengkhususkan serta memilih bidang-bidang kontras B1 : B2 yang akan memperkenalkan kendala-kendala atau penghalang-penghalang pembelajaran utama pada tahap permulaan, tetapi yang akan menjadi kurang sukar kalau pengetahuan pembelajaran mengenai B2 semakin meningkat. Untuk hal ini mereka justru mendapat kritik, karena mereka telah melestarikan atau mengabadikan suatu pandangan yang naïf mengenai pembelajaran B2. Lee (1968:192) misalnya memang berkeberatan terhadap perlakuan Anakon yang terpecah-pecah itu dan memprotes keras bahwa “bahasa bukanlah merupakan kumpulan dari bagian-bagian yang terpisah-pisah serta dapat mandiri dan berswasembada. Bagian-bagian itu berkaitan satu sama lain bahkan saling menentukan”.
Agar kita memperoleh gambaran yang lebih menyeluruh dan lebih terperinci mengenai Anakon Mikrolinguistik ini maka pada pembicaraan selanjutnya secara berurutan kita akan pusatkan perhatian kita pada butir-butir berikut ini :
a.              Prinsip-prinsip umum
b.              Anakon gramatikal
c.              Anakon fonologikal
d.             Leksikologi kontrastif
B.  Prinsip- prinsip Umum
Agar pembahasan kita selanjutnya lebih terarah dan lebih efisien, maka sebelum kita mengemukakan beberapa saran bagi pelaksanaan Anakon pada berbagai tingkat bahasa, ada baiknya kalau terlebih dahulu kita membicarakan beberapa “prinsip umum” prosedur-prosedur yang akan di tempuh. Pada dasarnya pelaksanaan suatu Anakon mencakup dua langkah, yaitu :
a.              Pemerian, deskripsi
b.              Perbandingan, komparasi
Kedua langkah ini dilaksanakan secara berurutan. Akan tetapi, kita tidak dapat mengatakan bahwa kedua prosedur tersebut memberi ciri secara unik pada Anakon.
Dalam pernyataan Fries (1945:259) yang dengan tegas mengutarakan bahwa “materi-materi yang paling efektif bagi pengajaran B2 adalah yang didasarkan pada pemerian ilmiah bahasa yang akan dipelajari, yang dengan cermat dibandingkan secara deskripsi yang parallel dengan bahasa ibu sang pembelajar”. Perhatikanlah baik-baik bahwa Anakon itu terdiri dari :
1.              Deskripsi-deskripsi B1 dan B2 dan
2.              Perbandingan antara keduanya.
Dan jelas bahwa kedua deskripsi itu perlu “sejajar” atau “parallel” .
Tuntutan minimal “deskripsi yang parallel” atau “pemerian yang sejajar ” ialah bahwa kedua bahasa itu diperikan dengan model deskripsi yang sama, atau seperti kata pakar Jerman Schwarze (1972 : 20) : “im Rahmen der gleichen Theorie und unit denselben Notations-konventionen”. Dalam pembicaraan terdahulu telah kita bicarakan model-model sintaksis alternatif. Dengan demikian maka kita pun perlu segera menemukan serta menentukan model-model alternatif bagi pemerian fonologi. Dan kita pun dapat pula bertanya, haruskah kedua deskripsi itu di kerjakan dengan model yang sama? Pertanyaan ini kita ajukan dengan beberapa alasan: pertama-tama, model-model yang berbeda dapat mendeskripsikan ciri-ciri bahasa tertentu secara lebih berhasil daripada model-model lainnya. Mari kita ingat kembali contoh-contoh terdahulu. Tata bahasa generative transformasional secara efektif dapat memperhitungkan intuisi-intuisi para penutur asli bahwa tipe-tipe konstruksi tertentu tetap berkaitan (misalnya, kalimat aktif dan kalimat pasif).
Dan kini terlihat bahwa kalau data yang “sama” dari B1 dan B2 dideskripsikan dengan dua model yang berbeda, maka deskripsi-deskripsi itu mungkin menyoroti faset-faset yang berbeda dari data tersebut. Apabila hal ini terjadi, maka komparasi atau perbandingan berikutnya tidak akan begitu sukar lagi, dan yang lebih serius lagi, sang penganalisis akan ragu-ragu mengenai status aneka kontras yang ditemuinya: apakah semua itu merupakan kontras-kontras linguistic, kalau kita menggambarkan perbedaan-perbedaan antara data B1 dan B2? Atau apakah semua itu merupakan refleksi-refleksi dari penggunaan dua model yang berbeda? Justru karena hal inilah maka Harris (1963:3) menandaskan bahwa pemerian-pemerian yang sebanding dari dua bahasa hanya akan terjamin kalau metode-metode pemerian yang identik digunakan bagi pemerian kedua-duanya: “selama setiap perbedaan antara pemerian-pemerian tersebut tidak ada kaitannya dengan perbedaan-perbedaan dalam metode yang digunakan oleh sang linguis, tetap pada perbedaan-perbedaan dalam bagimana caranya data bahasa beresponsi pada metode penataan yang identik”.
Tipologi linguistic menjelaskan kepada kita bahwa bahasa-bahasa manusia terbagi atas beberapa tipe berdasarkan ciri-ciri gramatika, fonologi dan leksikonnya masing-masing. Kalau beberapa model ternyata lebih baik buat mendeskripsikan cirri-ciri tertentu, maka hal ini berarti bahwa beberapa model akan mendeskripsikan bahasa-bahasa tertentu lebih baik daripada yang lain-lainnya. Sebagai missal, mungkin saja Tata bahasa Generatif Transformasional, yang merupakan produkLinguis Amerika, mendeskripsikan Bahasa Inggris lebih baik, daripada bahasa-bahasa lain. Agaknya tata bahasa generatif aplikatif suatu model ciptaan linguis Rusia Shaumjan (1965) pun jauh lebih baik dan lebih sesuai untuk mendeskripsikan bahasa Rusia yang mempunyai morfologi yang begitu rumit daripada untuk mendeskripsikan bahasa inggris. Takkan pelak lagi, distorsi atau penyimpangan pun akan terjadi kalau kita melaksanakan suatu anakon bahasa Rusia dan bahasa Inggris dengan menggunakan suatu model yang mendukung salah satu dan merugikan yang satu lagi, dengan perkataan lain, deskripsi-deskripsi tersebut selain bersifat parallel juga tidak sama.
Dengan demikian maka kita agaknya dihadapkan pada suatu dilemma: pada satu pihak, terdapat alas an-alasan teoretis yang baik bagi penggunaan model yang sama untuk membuahkan pemerian-pemerian B1 dan B2, pada pihak lain terdapat pula alas an-alasan praktis yang sama kuatnya mengapa hal ini tidak di senangi. Agaknya ada dua cara untuk menyelesaikan dilema tersebut.
1.                       Pertama-tama, deskripsikanlah data B1 dan data B2 secara terpisah, secara mandiri, menggunakan model-model yang menghasilkan deskripsi-deskripsi setiap bahasa sebaik-baiknya, dan kemudian terjemahkanlah kedua deskripsi tersebut kedalam suatu bentuk yang bermodel netral.
2.                       Cara yang kedua adalah melepaskan atau menghilangkan tuntutan bahwa kedua deskripsi tersebut memerlukan kedalaman yang sama, atau menggunakan istilah Halliday (1961:272) “delicate”. Sejumlah pakar kontrastif memang telah menyarankan agar suatu Anakon seyogianya benar-benar memperlihatkan suatu “descriptive imbalance” atau suatu “ketakseimbangan deskriptif” demi keuntungan B2.
Sekarang kita beralih pada langkah kedua yaitu “komparasi” atau perbandingan. Di sini pun kita menemui sejumlah masalah teoretis, terutama yang ada di sekitar masalah criteria buat komparasi atau yang biasa disebut sebagai “tertium comparationis” itu, tetapi kita sekarang akan memusatkan perhatian pada masalah “bagaimana membandingkan” dan bukan pada “dasar apa yang dibandingkan”. Memang tidak dapat disangkal, bahwa ini merupakan suatu pendekatan yang agak arbitrer, selama masalah “kebagaimanaan” dan “kemengapaan” tidak bisa terlepas satu sama lain. Kita lebih cenderung membandingkan “tipe-tipe” daripada membandingkan “tanda-tanda” dengan perkataan lain, mengacu kembali kepada contoh Catford terdahulu, kita tidak membandingkan kedua kalimat tersebut sebagai untaian-untaian bunyi atau substansi grafik, tetapi justru struktur-strukturnya.
Setiap struktur, secara ideal menggambarkan sejumlah kemungkinan realisasi yang tidak terbatas, kalau struktur itu merupakan sebuah kalimat, maka dia merupakan dasar bagi sejumlah ucapan, seperti yang dinyatakan oleh Lyons (1968:176). Dia menjelaskan perbedaan itu dengan mengacu kepada pembedaan terkenal yang dibuat oleh de Saussure antara “parole” dan “langue”. Ucapan merupakan bagian atau rentangan parole yang dihasilkan oleh penutur asli dari kalimat-kalimat yang diturunkan oleh sisitem unsur-unsur dan kaidah-kaidah yang membangun langue itu.

C.   Anakon Gramatikal
Abdul Chaer (2007: 75), makna gramatikal adalah makna yang “muncul” sebagai hasil proses gramatika, seperti afiksasi, reduplikasi, komposisi, akronimisasi, dan proses konversi. Proses akronimisasi sebenarnya tidak memunculkan makna gramatikal sebab proses itu hanya mengubah bentuk ungkapan yang panjang melalui abreviasi menjadi sebuah kata yang “pendek”. Lalu, proses konversi juga tidak memunculkan makna gramatikal sebab proses itu hanya mengubah kelas kata tanpa mengubah fisik bentuk dasarnya. Misalnya, dari kata cangkul yang berkategori nomina menjadi kata cangkul yang berkategori verba. Oleh karena itu, dalam pembicaraan selanjutnya, kedua proses ini (akronimisasi dan konversi) tidak akan dibicarakan karena tidak berkenaan dengan semantik.
Secara umum masalah makna gramatikal berkenaan dengan makna yang terjadi pada proses afiksasi, reduplikasi, dan proses komposisi atau proses penggabungan dasar dengan dasar. Ketiga proses ini cukup sulit dan masalahnya juga cukup besar.
Dalam proses afiksasi perlu dikemukakan adanya perbedaan pandangan mengenai makna dalam proses itu. Para ahli tata bahasa tradisional (atau juga pada buku-buku tata bahasa di sekolah) berpendapat bahwa setiap afiks mempunyai makna atau lebih dari satu makna, sehingga sering dinyatakan, misalnya, arti awalan me- adalah (1) ........; (2) ..........; (3) ........; dan seterusnya. Arti awalan ber- adalah (1) ........; (2) ..........; (3) ........; dan seterusnya. Kridalaksana (1989) yang bertumpu pada konsep de Saussure (1913) yang berpendapat bahwa sebuah afiks bukan memiliki banyak makna melainkan hanya satu makna. Lalu, sebagai solusinya dia mengatakan, misalnya ada 20 buah prefiks me- masing-masing dengan maknanya sendiri-sendiri; jadi ada prefiks me-1, me-2, me-3 dan seterusnya sebagai 20 yang berhomonim. Begitu juga ada 19 buah prefiks ber- dengan maknanya masing-masing. Jadi, ada prefiks ber-1, ber-2, ber-3, dan seterusnya sebagai 19 buah bentuk yang berhomonim. Dalam buku karangan Abdul Chaer (2007 : 76) , paham bahwa afiks tidak mempunyai makna sendiri (otosemantis) sebagaimana halnya dengan bentuk-bentuk dari dasar bebas. Afiks hanya mempunyai kemungkinan makna gramatikal, dan makna gramatikal itu baru jelas kalau afiks itu sudah diimbuhkan pada sebuah bentuk dasar. Makna gramatikalnya itu sangat tergantung pada komponen makna yang dimiliki bentuk dasarnya. Contoh prefiks ber- akan memiliki makna gramatikal ‘mengendarai’ atau ‘naik’ bila diimbuhkan pada bentuk dasar yang memiliki komponen makna [+ kendaraan], misalnya bersepeda, berkuda, dan lain-lain. Prefiks ber- akan bermakna ‘memakai’ apabila diimbuhkan pada bentuk dasar yang memiliki komponen makna [+pakaian], seperti bersepatu, berjilbab dan lain-lain. Contoh lain, prefiks ber- akan memiliki makna gramatikal ‘melakukan’ apabila diimbuhkan pada bentuk dasar yang memiliki komponen makna [+kegiatan], seperti berdiskusi, berolahraga, dan berekreasi.
Dalam proses reduplikasi selama ini ada kesan bahwa proses reduplikasi (proses pengulangan) “hanya” melahirkan makna ‘plural’ makna ‘intensitas’, sehingga bentuk ulang seperti kita-kita dan mereka-mereka adalah salah satu alasan bentuk-bentuk dasar tersebut sudah menyatakan plural. Jadi, tidak perlu direduplikasi lagi.
Kalau dasar yang direduplikasi itu hanya dasar berkategori nomina, verba, dan ajektifa maka makna gramatikal yang diperoleh memang bermakna plural atau intensitas. Padahal dalam kenyataan bahasa yang direduplikasi dalam bahasa Indonesia juga kata yang berkategori lain, seperti pronomina persona, adverbia, numeralia, dan konjugasi. Dalam bahasa keseharian kita dapati bentuk-bentuk seperti, jangan-jangan, bukan-bukan, kalau-kalau, tidak-tidak, dua-dua dan sebagainya. Oleh karena itu, kiranya masalah makna reduplikasi ini perlu dikaji lagi dengan mengangkat semua bentuk ulang yang ada sebagai objek kajiannya. Bukan hanya bentuk ulang yang dasarnya berkategori nomina, verba dan ajektifa saja; tetapi juga yang termasuk kategori konjungsi, numeralia, adverbia, dan lain-lain.
Proses komposisi adalah proses penggabungan dasar dengan dasar. Namun, disini perlu dikemukakan dulu adanya beberapa istilah lain yang bertumpang tindih dan sering dikacaukan orang. Pertama, adalah istilah kata majemuk. Istilah ini biasanya lebih dikaitkan pada masalah semantik. Apabila dua buah dasar digabungkan menjadi satu kesatuan dan memiliki “makna baru” yang tidak teramalkan secara leksikal maupun gramatikal, maka bentuk gabungan itu lazim ‘dipahami’ sebagai sebuah kata majemuk. Misalnya, keras kepala yang berarti ‘bandel’, muka tebal yang berarti ‘tidak bermalu’ dan panjang tangan yang berarti ‘pencuri’. Secara semantik bentuk seperti ini lazim juga dikenal dengan nama idiom atau ungkapan. Dengan demikian, bentuk seperti keras kepala, muka tebal, dan panjang tangan secara morfologi disebut kata majemuk. Kedua, istilah gabungan kata atau kata gabung digunakan untuk mewadahi penggabungan dasar dengan dasar, baik yang memiliki “makna baru”, seperti panjang tangan di atas maupun yang bukan, seperti tangan kursi dan badan jalan. Ketiga, istilah ini kelompok kata yang digunakan oleh A. A. Fokker (1961). Istilah digunakan juga untuk mewadahi konsep seperti pada gabungan kata. Hanya, untuk yang memiliki ”makna baru” diberi nama kelompok kata terikat, dan yang tidak memiliki makna baru diberi nama kelompok kata bebas. Keempat, istilah frase. Istilah frase sebenarnya bukan masuk istilah morfologi, melainkan istilah dalam bidang sintaksis. Meskipun juga ada berbagai pendapat tentang frase, tetapi pendapat umum yang mengatakan bahwa frase adalah kelompok kata dalam klausa yang tidak melewati batas fungsi masih bisa diterima. Dengan konsep ini sebuah frase bisa hanya terdiri dari dua buah kata, tetapi bisa juga terdiri atas beberapa kata; apalagi kalau digunakan juga konjungsi yang , tentu sebuah frase bisa menjadi sangat panjang.
Di sini yang kita maksud dengan proses komposisi hanyalah proses penggabungan antara sebuah dasar dengan sebuah dasar, dan hanya yang bermakna gramatikal, tidak termasuk yang bermakna idiomatikal. Bila dilihat adanya kearbitran semantik pada bentuk yang disebut idiom ini, maka sebenarnya makna-makna idiomatik itu juga termasuk wilayah makna leksikal.
Proses komposisi lazim dilakukan orang untuk mewadahi suatu konsep di alam nyata atau yang ada di dalam abstrak yang belum ada wadahnya dalam bentuk sebuah kata. Umpamanya dalam bahasa Indonesia sudah ada kata merah; tetapi ada warna merah seperti pada darah, merah pada hati, merah pada jambu, dan merah pada delima. Maka muncullah bentuk komposisi merah darah, merah hati, merah jambu, dan merah delima. Begitu juga dalam bahasa Indonesia sudah ada kata kaki. Lalu, hal-hal yang bentuk, letak dan fungsinya seperti kaki disebut dengan kata kaki, seperti kaki meja, kaki bukit dan catatan kaki.
D.  Anakon Fonologikal
Salah satu pengetahuan yang diperlukan untuk memahami suatu bahasa adalah pengetahuan tentang posisi dan fungsi suara dalam bahasa juga bagaimana suara itu dirangkai bersama untuk membentuk beberapa unit makna. Oleh karena itu, pengetahuan tentang bahasa arab tidak dianggap lengkap dengan hanya memahami subsistem struktur  bahasa (morfologi/ilm al-sharf  dan sintaksis/ilm al-nahw), subsistem perbendaharaan bahasa (leksikon/al-mufradat), subsistem makna dari tanda bahasa (semantik/ilm al-dilalah), subsistem makna yang dipengaruhi oleh sesuatu di luar bahasa (pragmatik/al-brakmatiyah) saja (Hidayattulah, 2009), tanpa mengetahui bunyi bahasa (Fonologi/ilm al-ashwath). 
Al-Suyuthi (dalam Sauri, 2008) menyebutkan bahwa bahasa merupakan serangkaian suara (ashwath) yang digunakan orang dalam mengungkapkan maksud yang dikehendaki. Definisi ini setidaknya melibatkan dua unsur dasar keterampilan, bahasa sebagai tutur kata yang didengar (listened) dan yang diucap (spoken). 
Fonologi adalah ilmu yang mempelajari tentang sistem bunyi bahasa. Fonologi sendiri diambil dari bahasa Yunani,  fon = Voice/Sound  berarti suara atau bunyi dan  logo= Word/Speech adalah kata atau ucapan. Jadi, yang dimaksud disini dengan fonologi adalah studi ilmu yang membahas tentang suara dan bunyi-bunyi yang terucap dari alat ucap manusia.
Fonologi termasuk dalam subkajian dalam ilmu  linguistik yang mempelajari tentang sistem bunyi suatu bahasa secara spesifik yaitu fonetik dan fonemik.
A.    Fonetik
Fonetik adalah bidang linguistik yang mempelajari bunyi bahasa tanpa  memperhatikan apakah bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau tidak. Menurut urutan jenisnya fonetik dibagi menjadi tiga, yaitu: 
a.     Fonetik Artikulatoratis, disebut juga fonetik organis atau fisiologis yaitu mempelajari bagaimana mekanisme alat-alat bicara manusia bekerja dalam menghasilkan bunyi bahasa, serta bagaimana bunyi-bunyi itu diklarifikasikan.
b.    Fonetik Akustik, yaitu mempelajari bunyi bahasa sebagai peristiwa fisik atau fenomena alam, bunyi-bunyi itu diselidiki frekuensi getarannya, intensitasnya dan timbrenya. 
c.     Fonetik Auditoris, yang mempelajari bagaimana mekanisme penerimaan bunyi bahasa itu oleh telinga kita. 
Perbedaan antara fonetik artikulatoris, akustik, dan auditoris adalah pada segi objek studinya. Dari ketiga jenis fonetik ini yang palimg dominan dalam dunia linguistic adalah  fonetik artikulatoratis, sedangkan fonetik auditoris lebih dengan bidang kedokteran, yaitu neurology, dan fonetik akustik  lebih berkenaan dengan fisika.  Alasan lebih pentingnya fonetik  artikulatoris menurut  beberapa ahli bahasa,  semua dikarenakan fonetik inilah yang berkenaan dengan masalah bagaimana buyi-bunyi bahasa itu dihasilkan atau diucapakan manusia.
Fonetik adalah studi fonologi yang mengkaji tentang bagaimana suara itu dihasilkan (produksi), persepsi suara, dan sifat fisis bunyi itu. Selain itu, ilmu suara ini juga meliputi bagaimana suara-suara itu dikombinasikan, diorganisir, dan menyampaikan maksud bahasa tersebut. Tidak semua bentuk  bunyi bahasa yang ada di dunia ini dapat diartikulasikan oleh alat ucap manusia. Contohnya saja, banyak bunyi dalam bahasa Inggris yang tidak bisa diartikulasikan sebagaimana bunyi-bunyi yang terdapat dalam bahas Afrika. Begitu pula dengan kombinasi, tak banyak pula yang dapat dibunyikan. Misalnya saja, kombinasi kt sangat sulit sekali diucapkan diawal kalimat.
B.     Fonemik
Kajian fonologi yang kedua adalah fonemik. Ilmu ini mempelajari tentang fonem, atau satuan bunyi terkecil yang membedakan makna.  Fonem (phoneme) menurut Bloomfield (1933) adalah satuan ciri bunyi distingtif terkecil. Dalam linguistik Arab, fonem disebut al-wahdah as-sawtiyyah (Syahin 1984).  
Bila fonetik mengkaji bunyi bahasa berdasar aspek fisiknya saja, maka fonemik mengkaji bunyi bahasa berdasar fungsinya sebagai pembeda makna dan terkait dengan bahasa tertentu. Oleh karena itu, dalam fonetik dapat diketahui bunyi bahasa yang artikulatorisnya besar dan bunyi bahasa yang artikulatorisnya kecil. Dalam fonemik yang diperhatikan perbedaan yang fungsional, yang berguna untuk membedakan makna. Perbedaan ini berbeda-beda antara satu bahasa dengan bahasa yang lain.
Dalam tiap bahasa, orang secara tidak sadar mengelompokkan berbagai bunyi yang diucapkannya ke dalam satuan-satuan fungsional terkecil yang disebut fonem. Pembahasan tentang fonem, penggolongan fonem, dan distribusi fonem di antara pembahasan yang dipelajari dalam fonemik. Singkatnya, fonem adalah abstraksi dari bunyi-bunyi bahasa. Meski berbeda antara fonem dan bunyi bahasa, fonem diberi nama sesuai dengan nama salah satu bunyi bahasa yang merealisasikannya. Lambang yang digunakannya pun sama dengan yang digunakan untuk melambangkan bunyi bahaa. Bedanya, lambang fonem diletakkan di antara dua garis miring, sedangkan lambang bunyi diletakkan dalam tanda kutung siku.
Bunyi-bunyi yang merupakan realisasi suatu fonem disebut alofon. Fonem /i/ dalam bahasa Arab, antara lain mempunyai alofon-alofon [i] (dalam rizâ), [i:] (dalam jâmi), dan [I] (dalam jamîl). Alofon-alofon sebuah sebuah fonem dapat juga menunjukkan ciri hubungan yang disebut bervariasi bebas. Alofon-alofon demikian dapat dipertukarkan di tempat yang sama. Hal ini dapat terjadi terutama karena alat ucap manusia pada dasarnya tidak mampu melafalkan dua bunyi yang benar-benr sama berturut-turut. Ciri alofon-alofon sebuah fonem adalah pertama, mempunyai kemiripan fonetis. Artinya, mempunyai  banyak kesamaan dalam pengucapannya; kedua, berdistribusi komplementer atau bervariasi bebas.
Untuk memperlihatkan perbedaan fonemis  antara yang satu dengan yang lain dipakai cara memperbandingkan contoh-contoh ujaran dengan perbedaan minimal dalam bunyi. Dua ujaran yang berbeda maknanya dan berbeda minimal dalam bunyinya seperti itu disebut pasangan minimal. Dalam bahasa  Arab, misalnya, kita bisa memperbandingkan antara kata  jali:l  dan kata  jami:l dapat diperlihatkan bahwa kedua contoh itu hanya dibedakan oleh [l] dan [m]. Perbedaan ini merupakan perbedaan yang penting bagi pemakai bahasa Arab karena perbedaan ini bersifat fonemis. Kedua bunyi ini merupakan realisasi dua fonem yang berbeda, yakni /l/ dan /m/.
Fonem dapat dibagi menjadi jenis konsonan (consonant atau sāmit) dan vokal (vowel atau harakah) (Robins 1989 dan Hijāzy 1978).
E. Leksikologi Kontrastif
Leksikologi, dalam bahasa inggris dinamakan lexicology yang berarti ilmu/studi rnengenai bentuk, sejarah dan arti kata-kata (John M. Echols dan Hasan Syadliy . 1996), dalam bahasa arab, leksikologi disebut dengan ilmu Al-ma’ajim yaitu ilmu yang mempelajari tenitang selak beluk kamus.
Menurut bahasa, lexicology berasal dan kata lexicon yang berarti kamus, mu’jam atau istilah dari sebuah ilmu(Research and Studies Centre. 2004 : hlm. 446) menurut istilah, leksikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari seluk beluk makna/arti kosakata yang telah termuat atau akan dimuat di dalam kamus. Al-Khuli menerjemahkan istilah lexicology dengan sebutan ilm Al-Mufraclat (Ilmu Kosakata), bukan Ilm Al-Ma ‘aji (Muhammad Ali Al-Khuli A.1982: hlm.154). Menurutnya, pembahasan tentang kosakata dan maknanya telah termuat dalam ruang lingkup ilmu kosa kata (Ilm Al-Mufradat).
Selain istilah Leksikologi dan Ilm Al-Ma ‘ajim, ada juga beberapa istilah lain yang digunakan untuk menyebut ilmu tentang kamus. Misalnya saja, Ilm al-Allfadz, aI-Laffadzah, Ilm Dalalah Mu’j amiyah dan sebagainya (H.R. Taufiqurrochman. 2008: hlm.2),  proses transfer dari bahasa lisan ke bahasa tulis menuntut para penutur bahasa ngembangkan ilmu tentang makna (semantik) untuk memahami kosakata lama maupun baru yang ada di dalam bahasa mereka. Interpretasi dan studi kosakata itu lebih dikenal dengan ilmu kosata (Ilm Al-Mufradat). Pada tahapan selanjutnya, hasil kajian dan penelitian dari  ilmu kosakata, terutama yang telah maupun yang akan dikodifikasi ke dalam sebuah kamus, melahirkan ilmu leksikologi (H.R. Taufiqurrochman. 2008: hlm. 3).
Menurut Hilmy Khalil, Leksikologi adalah Ilm Al-Ma’ajim Al-Nadzari, yaitu kajian teoritis tentang makna leksikal dalam sebuah kamus yang bahasannya meliputi: karakteristik kosakata, komponennya, perkembangan maknanya dan lain sebagainya. Karena itu, leksikologi terkadang juga digolongkan sebagai bagian dari ilmu semantik (Ilm Al-Dalalah) karena memang topik kajian dan kedua bidang studi tersebut hampir sama. Hanya saja, cakupan Ieksikologi lebih terbatas pada perwajahan kamus dan hal-hal yang berhubungan dengan isi kandungan kamus (Hilmy Khalil: hlm. 333)
Secara umum masalah makna leksikal mencakup masalah kesamaan makna, kablikan makna, ketercakupan makna dan keberlainan makna (Abdul chaer. 2007:hlm.68) :
a.    Kesamaan Makna atau kesinoniman
Misalnya menyangkut masalah seberapa besar kesamaan makna yang terdapat antara dua buah kata atau lebih: sebab seperti kita ketahui, tidak pernah ditemukan dua buah kata dalam bahasa Indonesia yang kesamaan maknanya bersifat mutlak atau seratus persen misalnya kata Ayah dan Bapak kesamaannya dianggap cukup. Tetapi toh masih terdapat keperbedaannya, seperti ditunjukkan pada contoh-contoh kaliamat berikut :


Double Brace: Bapak
Ayah
Ayah
 
-                             Si badu otang medan



Double Brace: Bapak
Ayah
Ayah
 
-                             Mau kemana, Tanya adik.



Double Brace: Bapak
Ayah
Ayah
 
-       “selamat pagi                        Mukti!” seru anak-anak itu.

Perhatikan juga fakta berikut : kata ban bias bersinonim dengan kata roda, kata ban bias bersinonim dengan kata sabuk (ikat pinggang, gasper), juga kata ban bersinonim dengan kata pita. Namun, ternyata kata roda tidak bersinonim dengan kata sabuk maupun kata pita. Hal ini menunjukkan memang ada unsure semantic (komponan makna) yang bias mensinonimkan kata ban dengan kata roda, sabuk dan pita, tetapi tidak ada unsure semantik yang bias mensinonimkan kata roda dengan kata sabuk dan kata pita. Hal ini melahirkan juga masalah (yang bias dikaji) mengapa dua buah kata yang bersinonim tidak bias saling disubtitusikan, seperti kata bapak dan ayah diatas.
b.   Kebalikan Makna atau keantoniman
Misalnya menyangkut masalah mengapa kata hidup dan  kata mati yang berantonim tidak bias dikatakan sangat hidup atau sangat mati, tetapi pada kata jauh dan dekat. Juga mengapa kata tinggi hanya berantonim dengan kata rendah, sedangkan kata berdiri bisa berantonim dengan kata duduk, dengan kata berbaring, dengan kata tiarap dan dengan kata berjongkok. Fakta ini menunkkan bahwa terdapat tipe-tipe keantoniman didalam bahasa Indonesia. Hal ini merupakan masalah yang cukup layak dan penting untuk dikaji secara serius dan mendalam.
c.    Ketercakupan Makna kehiponiman
Berkenaan dengan adanya fakta bahwa ada kata-kata yang maknanya tercakup dibawah makna kata lain, seperti kata cakalang yang tercakup dibawah makna kata ikan, dan kata bemo tercakup pada makna kata kendaraan. Lalu disamping itu adanya fakta bahwa ada kata-kata yang maknanya mencakup sejumlah kata lain, seperti kata bunga  yang mankanya mencakup makna kata-kata melati, seruni, mawar, cempaka, dan lain-lain., atau juga kata bangunan yang maknanya mencakup sejumlah makna kata, rumah, jembatan, bendungan, menara dan lain-lain. Kemudian ada lagi fakta adanya kata yang bukan maknanya mencakup sejumlah makna kata lain, melainkan mencakup sejumlah kata yang meruapakan bagian (komponen) dari kata tersebut. Umpamanya, kata rumah mencakup didalamnya kata kamar, dapur, gudang, kamar mandi, dll. Disini kita lihat kasus rumah dengan bagian-bagiannya ini tidak sama dengan kasus bunga dengan melati,cempaka, dan sebagainya.
Ketiga kasus ini, hubungan melati dengan bunga, hubungan bunga dengan melati dan hubungan rumah dengan kamar merupakan objek yang menarik dan layak dikaji secara serius dan mendalam.
d.   Keberlainan Makna
Keberlainan makna antara dua butir leksikal berkenaan dengan adanya fakta bahwa ada kata-kata yang bentuknya sama, yang maknanya sangat berlainan. Misalnya kata pacar dalam kalimat “pulang dari Makkah biasanya jamaah haji membawa pacar” bermakna `inai, pemerah kuku, sedangkan dalam kalimat “si Joni mengajak pacarnya menonton bioskop”, bermakna `kekasih`. Contoh lain, kata baku dalam kalimat “baku tembak terjadi antara polisi dan perampok” bermakna `saling tembak`, sedangkan dalam kalimat “kapas adalah bahan baku tekstil” bermakna `bahan mentah`.
Adanya fakta-fakta seperti itu dapat meninmbulkan pertanyaan bagaimana terjadinya bentuk-bentuk kata yang sama padahal maknanya tidak sama. Pertanyaan ini perlu dijawab secara ilmiah dengan mengajukan data-data empiris yang cukup.
Disamping itu ada pula fakta seperti pada tiga kalimat berikut, “kepalanya luka kena pecahan kaca”. “ ibunya menjadi kepala sekolah disana” dan kalimat “setiap kepala mendapat bantuan seribu rupiah”. Kata kepala pada tiga kalimat itu tidak sama maknya. Pada kalimat pertama bermakna `bagian tubuh sebelah atas`, pada kalimat kedua bermakna `pemimpin` dan pada kaliamat ketiga bermakna `orang`. Makna pada kasus kata kepala ini lazim disebut sebagai kasus polisemi, sedangkan makna pada kasus kata pacar diatas lazim disebut sebagai kasus homonimi. Nah, disini muncul pula masalah yang layak dijadikan objek penelitian, yaitu bagaimana bisa menentukkan perbedaan antara kasus homonimi dan kasus polisemi.
Kasus ini memang layak dikaji, sebab dalam kamus momonim bahasa Indonesia oleh Moh. Ngafenan (1985) kata bakul  yang bermakna `wadah tempat nasi` dan kata bakul yang bermakna `pedagang asongan` didaftar sebagai kasus homonimi, padahal dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia Poerwadarminta (1976) didaftar sebagai kasus polisemi.







3
 
 
BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dan rumusan masalah yang telah dijawab dalam makalah ini, maka bisa ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
ü Mikrolingiustik adalah suatu bidang linguistic yang mempelajari bahasa dari dalamnya, dengan perkataan lain mempelajari struktur bahasa itu sendiri atau mempelajari bahan bahasa secara langsung (Kridalaksana 1984 : 125).
ü Prinsip-prinsip umum Anakon
1.              Pemerian, deskripsi
2.              Perbandingan, komparasi
ü Anakon Gramatikal
Abdul Chaer (2007: 75), makna gramatikal adalah makna yang “muncul” sebagai hasil proses gramatika, seperti afiksasi, reduplikasi, komposisi, akronimisasi, dan proses konversi.
ü Anakon Fonologikal
Fonologi adalah ilmu yang mempelajari tentang sistem bunyi bahasa. Fonologi termasuk dalam subkajian ilmu  linguistik yang mempelajari tentang sistem bunyi suatu bahasa secara spesifik yaitu fonetik dan fonemik.
1. Fonetik
Fonetik adalah bidang linguistic yang mempelajari bunyi bahasa tanpa  memperhatikan apakah bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau tidak. Menurut urutan jenisnya fonetik dibagi menjadi tiga, yaitu: 
a)      Fonetik Artikulatoratis, disebut juga fonetik organis atau fisiologis yaitu mempelajari bagaimana mekanisme alat-alat bicara manusia bekerja dalam menghasilkan bunyi bahasa, serta bagaimana bunyi-bunyi itu diklarifikasikan.
b)      Fonetik Akustik, yaitu mempelajari bunyi bahasa sebagai peristiwa fisik atau fenomena alam, bunyi-bunyi itu diselidiki frekuensi getarannya, intensitasnya dan timbrenya. 
c)      Fonetik Auditoris, yang mempelajari bagaimana mekanisme penerimaan bunyi bahasa itu oleh telinga kita. 
2.    Fonemik
Ilmu ini mempelajari tentang fonem, atau satuan bunyi terkecil yang membedakan makna.  Fonem (phoneme) menurut Bloomfield (1933) adalah satuan ciri bunyi distingtif terkecil. Dalam linguistik Arab, fonem disebut al-wahdah as-sawtiyyah (Syahin 1984).  
ü Leksikologi Kontrastif
Leksikologi, dalam bahasa inggris dinamakan lexicology yang berarti ilmu/studi rnengenai bentuk, sejarah dan arti kata-kata (John M. Echols dan Hasan Syadliy . 1996), dalam bahasa arab, leksikologi disebut dengan ilmu Al-ma’ajim yaitu ilmu yang mempelajari tenitang selak beluk kamus.
Secara umum masalah makna leksikal mencakup masalah kesamaan makna, kebalikan makna, ketercakupan makna dan keberlainan makna (Abdul chaer. 2007:hlm.68) :
a)      Kesamaan makna atau kesinoniman
b)     Kebalikan makna/ keantoniman
c)      Ketercakupan makna kehiponiman
d)     Keberlainan makna
B.       Saran
Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan dalam makalah ini maka penyusun menyarankan untuk para pendidik atau guru bahasa, agar lebih memperhatikan tentang objek kajian Analisis kontrastif mikrolinguistik, karena bagaimanapun juga ia termasuk salah satu bidang dari ilmu linguistik yang mana mempelajari bahasa dari dalamnya (struktur internal bahasa).
Semoga penyajian makalah ini dapat menjadi sebuah salah satu referensi yang rasional dan objektif dalam memahami mata kuliah “anakon dan anakes”. Serta mampu kita manfaatkan dalam pembelajaran yang lain.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Khuli, Muhammad Ali. 1982.  Dictionary of Theoretical Linguistics. Lebanon: Maktabah Lubnan.
Chaer, Abdul. 2007. Kajian Bahasa: Struktur Internal, Pemakaian, dan Pemelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul.1994. Linguistik Umum. Jakarta : Penerbit Rineka Cipta.
Echols, John M. dan Hasan Syadliy. 1996. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.
Fries; C. C. 1945. Teaching and Learning English as a Foreign Language. Michigan: University of Michigan Press.
Halliday; M. A. K. 1961. “Categories of the theory of grammar”, dalam Word. Vol. 17. No. 3, pp. 241-292.
Harris; Z. S. 1954. “Transfer Grammar”, dalam IJAL. Vol. 20, No. 4, pp 259-270.
Khalil,  Hilmy. Muqaddimah li Dirasah Al-Lugah. Iskandariyah: Dar Al-Ma’riah Al-Jami’iyyah.
Kridalaksana, Harimurti. 1989. Pembentukan Kata Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Lee; W. R. 1968. “Thoughts on contrastive linguistics in the context of language teaching”; dalam MSLL, No. 21. Georgetown University Press.
Lyons; J. 1968. Introduction to Theoretical Linguistics. Cambridge: Cambridge University Press.
Research and Studies Centre. 2004. The Dictionary English-Arabic. Lebanon: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah.
Schwarze, C. 1972. “Grammatiktheorie and Sprachvergleich” dalam Ling. Berichte, vol. 21, pp. 15-30.
Shaumjan; S. K. 1965. Strukturnaja Linguistika Moskow: I. Nauka.
Soeparno. 2002. Dasar-Dasar Linguistik Umum. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Tarigan, Henry Guntur. 1992. Pengajaran Analisis Kontrastif Bahasa. Bandung: Angkasa.
Taufiqurrochman, H.R. 2008. Leksikologi Bahasa Arab. Yogyakarta: SUKSES Ofsset.
Verhaar, J.W.M. 1996. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
www.fonologidalampendidikandanpelatihan.pdf. Oleh M. Tontowi diakses pada tanggal 04/03/2013 jam 09.00 WIB